Pertama-tama (kata bentukan ini pasti nggak bener), aku akan memulai entri ini dengan ihwal (ini kumaksudkan sebagai terjemahan bagi "concern") ga penting mengenai berat badanku, ho ho ho. Aku menginjakkan kakiku lagi untuk kali pertama setelah setahun di Belanda di timbangan Rumah Yado pada 1 September 2009. Timbangan itu meregister angka 76. Kini, setelah hampir tiga minggu, timbangan yang sama meregister angka 81! Suatu prestasi!
Ihwal kedua yang ingin kukemukakan (ribet amat yak kata ini...) adalah ketuaanku yang bacin sedangkan uthekku sik lethek wae. Apa karena semakin bacin itu maka uthekku tambah lethek? Begini atau begitu sama saja! Toh malam ini aku sedang tidak mau sedih tapi juga tidak ada alasan untuk gembira. Eh, ada ding alasan untuk sedih. Itulah juga yang akan menjadi judul dari entri ini: Ramadhan yang Pergi Karena Kuacuhkan 2009!
Ramadhan ini, seperti halnya tiga Ramadhan sebelumnya, berlalu begitu saja karena kuacuhkan. Ramadhan ini, seperti halnya tiga Ramadhan sebelumnya, kuiisi dengan urusan-urusan yang macam betoool (Coba ada Bang Herman di sini, pasti dia akan menanggapinya dengan pernyataan-pernyataan menyebalkan khas Herman Abubakar). Kenyataannya tidak ada urusan yang benar-benar betul sepanjang Ramadhan ini, meski aku tahu persis perasaan ini timbul karena lemahnya iman semata.
Jangan-jangan dari sejak tiga Ramadhan yang lalu kualitas penghambaanku terus saja menurun. Hiy, ngeriy! Memang betul aku sekarang Bono Budi Priambodo, S.H., M.Sc., dan tidak mungkin terdengar lebih manis lagi dari kedengarannya kini. Pun demikian, aku menemui diriku menginginkan lebih, sedang sudah lama betul aku tidak pernah betul-betul menginginkan apa-apa. Determinasi, satu hal yang belum pernah sungguh-sungguh kumiliki.
Buktinya, aku malah menulis entri ini. Seperti biasa aku menganggap pekerjaanku sebagai kerja seni yang membutuhkan suasana hati tertentu. Jika aku harus menulis naskah tragedi, hatiku harus turut tersayat-sayat. Jika aku sedang menulis tragedi, dadaku harus membuncah dengan ledakan air mata. Jika aku ingin menulis naskah tragedi, aku harus menjadi bagian dari tragedi itu sendiri. Ho ho ho, tragedi thok pikirane. Aku memang spesialis tragedi, setidaknya seperti yang ingin kupercaya.
Tragedi atau bukan, aku harus menuntaskannya minggu depan (seperti inilah caraku mengelola waktu). Jika tidak, semua ini tentu akan menjadi omong kosong belaka. Terlalu mahal, terlalu penting untuk menjadi sekadar omong kosong! Seberapa mahal? Seberapa penting? Jangan tanya! Betapa lunglai hasratku ketika mendengar kata "indicator," karena aku lebih suka merasa daripada mengukur. Aku seniman bukan petarung (tidak tahu malu!).
Lihat, betapa lemahnya imanku. Sudah begitu saja tentang Ramadhan yang segera berlalu. Satu dari empat berturut-turut. Tidak ada penyesalan apalagi rintihan. Keras terasa hatiku. Allah Illahi Rabbi, tidak ada yang lebih perkasa dari Engkau Maha Perkasa dan Berkehendak. Hamba mohon ketetapan hati untuk meningkatkan kualitas penghambaan hamba, Insya Allah, dimulai dengan perawatan yang lebih baik terhadap jasad hamba, segera setelah Hari Raya.
Ya Rabb, hamba mohon dicukupkan kebutuhan duniawi hamba, dan lebih penting lagi, hati yang mengetahui dan bersyukur atas segala kecukupan itu. Ya Rabb, jangan biarkan hamba mengeluhkan kekurangan hamba atas segala kebutuhan duniawi kepada mahluk-Mu yang mana pun. Tetapkanlah hati hamba untuk itu, Maha Perkasa, Maha Lembut, Maha Memberi Rejeki dan Karunia. Tolonglah hamba, Illahi Rabbi. Mudahkanlah hati hamba untuk merintih memohon pertolongan pada-Mu dan hanya pada-Mu.
Susunannya ideal. From Souvenir to Souvenir, dilanjutkan dengan Forever and Ever, ditutup dengan Aufwiedersehn. Sudah nekad saja. Mari kita telanjang! Wow, favoritnya Sleepy Shore! Jadi begitu toh bentuknya kalau suka Sleepy Shore. Ya sudah begitu saja. Tidak ada kelanjutannya? Tidak. Sudah begitu saja. Namun lagu ini... tidak pernah gagal untuk membuatku merasa seperti sedang mencinta. Forever and Ever. Entah dari umur berapa, suatu bentuk cinta yang sangat primordial, sangat purba. Ibuku pasti sudah menyukainya jauh sebelum aku terbentuk dalam rahimnya, dan terlahirlah aku anak sulungnya menyukai melodi yang sama, mungkin hingga kumati.
Jadi ingat percakapan William of Baskerville dan Adso of Melk tentang cinta. Tidak seperti Abi yang ingat redaksi asli dialog Mas Boy dengan seorang janda kesepian, aku tidak segitunya. Yang kuingat, Adso berbicara mengenai cinta yang sangat badani (Ya iya lah. Lha wong dia habis melakukannya), sedang William berbicara mengenai cinta ilahiyah. Cintaku malam ini dengan Forever and Ever sudah barang tentu tidak ilahi. Ini cintaku dengan diriku sendiri, suatu kemampuan yang hanya mungkin dikembangkan oleh orang-orang sombong.
Ibu, engkau telah melahirkan sesuatu yang mengerikan, tapi takkan kubiarkan siapapun mencibirmu karena telah melahirkanku! (lebay mode on which is gaouwl ga sih gue)
1 comment:
Good post.Pukulan telak.Bagi saya. Ramadhan yg indah&penuh karunia jg tpaksa-sdikit sengaja-terlewat begitu saja.. pantas sy merasa hampa ditinggal Ramadhan.. Ya,mudah2an dlm Ramadhan selanjutnya jk nafas msh d raga,Ramadhan tdk tersia2 lg..insya allah..
Post a Comment