Friday, February 28, 2025

Sekadar Biar Februari Ada Entrinya. Masakan Tidak


Ini sesungguhnya adalah waktuku mencoba menulis mengenai pagar laut misterius. Jadi tidak mungkin aku menulis entri seperti ini. Ya, kau boleh menduga ini retroaksi. Biar saja. Apa harus 'ku catat di sini petualanganku Selasa kemarin ke Sampoerna Strategic. Jelasnya, aku berangkat dengan perut penuh entah nasi uduk atau kuning, entah bercungkring atau tidak, dan mungkin gorengan dua potong sekaligus: tahu dan tempe berselimut tepung. Aku tidak seberapa ingat perjalananku dengan kereta, tapi aku ingat ketika turun di Tebet. Udara 'duhai panasnya ketika keluar stasiun.
Ketika itulah pandanganku tertumbuk pada antrian naik JakLingko 48A, yang seharusnya bisa mengantarku gratis sampai Sampoerna Strategic. Mengantri dalam udara panas seperti ini? Tidak 'lah. Entah bagaimana caraku berpikir, begitu saja aku nyelonong terus ke Upnormal, memesan GrabHemat, tidak dapat-dapat. Ada dua kemungkinan, pikirku. Satu, siapa juga yang mau ambil orderan hemat, tidak usah hemat saja uangnya sudah sedikit. Dua, Upnormal berada di sebelum putaran, jadi pasti sulit menjemputku. Majulah aku ke Bebek Kaleyo, di situ aku dijemput Bu Tia.

Masih harus diteruskan? Bu Tia mungkin seumuranku, menilik dari musik-musik yang didengarkannya melalui radio mobil. Kami tidak banyak berkomunikasi sepanjang jalan itu. Aku bahkan sempat tertidur. Singkat kata, sampailah aku di Sampoerna Strategic itu. Sebuah gedung megah yang dibangun di atas uang orang-orang tolol ahli hisap. Beberapa di antara mereka mungkin sudah isded gara-gara penyakit-penyakit degeneratif. Hidup ini sudah berat, Bung, mengapa kau tambah lagi dengan kebiasaan-kebiasaan yang buruk lagi membunuh seperti merokok.

Gila, tiga paragraf koheren mengenai hidup sehari-hari yang biasa-biasa saja, itu-itu saja; karena merintang masa, melanglang buana, meretas raga membutuhkan energi yang sangat besar. Kau harus membuncah, menggelegak. Kau harus meletup-letup, meledak membahana seperti lumpur lapindo. Astaga, hidup yang cuma begini-begini saja. Hidup adalah membahagiakan orangtua, Ibu dan Bapak. Hidup adalah berusaha menjadi seorang suami atau istri sebaik yang kau bisa, bapak atau ibu bagi anak-anakmu. Itu sudah. Terkadang ada waktumu bergemuruh, mau apa.

Lantas kalau tidak mengenai hidup sehari-hari, mengenai apa. Kebat mengebit di sejuknya akuarium dengan pemandangan pelataran, Jalan Profesor Doktor Nugroho Notosusanto dan sayap utara/ kanan Masjid Ukhuwah Islamiyah. Astaga, menyelesaikan yang kurang tiga ini saja butuh berhari-hari, sedang nyaris tidak ada sesuatu pun cukup baik yang dapat 'ku katakan mengenai forum terhormat itu. Apa 'ku ceritakan saja perjalananku ke Jalan Taman Kebon Sirih III agak di seberang Masjid al-Ihsan. Sepulang dari sana naik grabcar lama sekali sampai ke Cerita Rasa. 

Apa perlu 'ku tulis di sini sempat berhenti di pinggir Jalan Pattimura untuk kencing di pohon, seperti anjing. Benar-benar ini sekadar agar Februari ada entrinya. Masakan tidak. Dari entah berapa judul buku yang sudah 'ku baca dalam hidupku, entah berapa banyak teman yang 'ku punya. Rasanya seperti kembali ke awal 1996, belum genap 20 tahun umurku. Tolol tak terperi. Sedang kini sudah lebih dari dua kalinya saja masih tolol, apalagi pada saat itu. Berenang-renang diriku mengarungi lautan malam, mencicipi berbagai hidangan malam yang berpeluh berbisa.

Mengapa pula masih 'ku lakukan ini, mengitiki. Sebabnya, aku tak punya teman. Aku kesepian. Bahkan Ahmad Dhani pun kurasa kesepian ketika istrinya lebih memilih menghabiskan waktu menonton drama korea. Di sini aku merasa lebih beruntung darinya karena istriku sekadar mencocok-cocokkan permata mutu manikam sambil terkadang mendengarkan gosip-gosip politik. Tidak juga semata karena kesepian. Ini kesepian hakiki. Kekosongan yang tak hendak diisi, seperti hawa terperangkap rumah kosong yang pernah dipakai bermain jailangkung jailangse. Apasih apase.