Sore bermendung berbalsem ini, aku tidak ingin mengitiki sesuatu apapun yang memaksaku memeriksa akurasi fakta. Setua ini memulai sesuatu yang sama sekali baru, kata Takwa. Bagaimana jika ternyata memang tidak pernah memulai apapun. Kesedapan ini yang membelai indera pendengaran, yang bukan sekadar salah satu dari lima. Kesedapan ini, adakah yang tidak membawa derita. Kesengsaraan ini, adakah yang tidak membawa nikmat. Mungkin sama panjang dengan bocah Sasak, namun bagiku terlalu panjang. Sesedih itukah kisah-kisah kami, sedihkah 'ku ini.
Bocah hitam kribo yang cuma tahu main bola, anak orang kaya. Ibu yang suaminya sekitar tiga puluhan tahun lebih tua. Seorang dokter yang hanya punya satu pasien, yakni ibu pertiwi, yang jari kelingkingnya hilang seruas digigit istrinya yang separuh sinting. Terlepas separuh atau lebih atau kurang, dapat dibayangkan bau lemak teroksidasi menguar dari setiap lipatan. Semua ini adalah kepingan-kepingan teka-teki hidup, tentu saja bagi mahluk tolol yang dapat lebih tolol dari hewan ternak apatah monyet. 'Ku suka goyang-goyang, kau suka goyang-goyang, kita suka... goyang!
Kubasuh luka-luka hatiku dengan air hangat, sepertinya membasuh sisa-sisa coklat panas. Tak ingin 'ku kembali ke tempat 'ku terluka, yakni masa laluku, masa lalumu, masa lalu siapapun. Apa ada di hadapanku kini, ringkasan disertasi. Setelah Bang Isal, lalu Arif Arrahman, lalu siapa lagi. Kuacungkan tombakku tinggi-tinggi ke angkasa, meski tidak pernah 'ku jadi prajurit sungguh-sungguh. Aku sekadar prajurit karnaval tujuh belasan, meski yang katanya sungguhan 'kurasa juga merasa palsu, main-mainan belaka. Biar Teguh jadi Tanguy aku Laverdure-nya. Tak mengapa.
Ini seperti petualangan Bono 'Viper' Priambodo, Gundo 'Panther' Widyanto, Reza 'Jaguar' Yanuar, dan Herman 'Puma' Susanto, atau siapapun boleh jadi begitu, termasuk Yulmaizir 'Coyote' Chaniago, Firman 'Foxhound' Dwi Cahyono, dan Wastum 'Conda'. Selamanya aku akan menjadi Kopral Bono dan itu kehormatanku, kebanggaanku. Hormat bangga! entah apa artinya. Seperti halnya makanan, mustahil kucicipi semua. Seperti halnya makanan, rasanya akan sama saja. Hanya panas bahkan lecet didapati pada akhirnya. Kuacungkan lagi, kali ini pedangku.
Pedangku bergagang perak, berbilah putih bermata dua, bersarung jingga berantai emas. Pistol mitralyurku hitam memuncratkan air diberikan kepada anaknya Lik Tukino. Ada juga pistol koboi berwarna emas yang kukata lumayan beberapa meter melontarkan proyektilnya, yang ternyata hanya meleleh seperti mani sudah keluar tiga kali. Seperti petembak tepat yang jangankan tepat, menembak saja tak hahaha. Itu semua hanya beberapa tahun dan segera berlalu, menghadapi kenyataan hidup yang selalu nyata, tidak pernah khayal, semua karena bertemu orang-orang lain.
Biarlah aku kembali ke musim hujan itu, akhir 1990, awal 1991. Sudah pasti ingatanku tidak akurat, tapi biarlah. Bisa jadi bukan lodeh tempe, bisa jadi juga bukan teri goreng telur. Yang jelas, seekor cicak terluka parah dihantam bola meriam yang dimuntahkan Mauser C96 alias si gagang sapu. Ya, bahkan Sandoro si anak Humbang Hasundutan itu tahu ini semua sekadar trivia, remeh-temeh. Maka biarlah aku melontar diri dan khayalku ke musim hujan awal 1993 itu, atau bisa jadi akhir 1992, ketika aku berjalan di sepanjang Pecinan dengan toko roti sebagai tujuan.
Selalu saja roti pizza-pizza'an yang terkenang, mungkin juga es krim. Atau lebih baik kerang goreng dan mienya sekali. Begitulah aku tidak pernah berhenti tolol sampai hari ini. Mengapa aku bersikeras dengan ketololanku, mengapa bebal begini aku. Aku mengira diri begini begitu, nyatanya aku masih berseragam pesiar biru-biru langit, berdasi berbaret biru tua, bersepatu kulit hitam mengilat. Adakah baretku waktu itu ngarang-ngarang sok baret hijau, mengingat aku sudah hampir paling senior. Ketika aku benar-benar yang paling senior, tololku menjadi-jadi.
Bocah hitam kribo yang cuma tahu main bola, anak orang kaya. Ibu yang suaminya sekitar tiga puluhan tahun lebih tua. Seorang dokter yang hanya punya satu pasien, yakni ibu pertiwi, yang jari kelingkingnya hilang seruas digigit istrinya yang separuh sinting. Terlepas separuh atau lebih atau kurang, dapat dibayangkan bau lemak teroksidasi menguar dari setiap lipatan. Semua ini adalah kepingan-kepingan teka-teki hidup, tentu saja bagi mahluk tolol yang dapat lebih tolol dari hewan ternak apatah monyet. 'Ku suka goyang-goyang, kau suka goyang-goyang, kita suka... goyang!
Kubasuh luka-luka hatiku dengan air hangat, sepertinya membasuh sisa-sisa coklat panas. Tak ingin 'ku kembali ke tempat 'ku terluka, yakni masa laluku, masa lalumu, masa lalu siapapun. Apa ada di hadapanku kini, ringkasan disertasi. Setelah Bang Isal, lalu Arif Arrahman, lalu siapa lagi. Kuacungkan tombakku tinggi-tinggi ke angkasa, meski tidak pernah 'ku jadi prajurit sungguh-sungguh. Aku sekadar prajurit karnaval tujuh belasan, meski yang katanya sungguhan 'kurasa juga merasa palsu, main-mainan belaka. Biar Teguh jadi Tanguy aku Laverdure-nya. Tak mengapa.
Ini seperti petualangan Bono 'Viper' Priambodo, Gundo 'Panther' Widyanto, Reza 'Jaguar' Yanuar, dan Herman 'Puma' Susanto, atau siapapun boleh jadi begitu, termasuk Yulmaizir 'Coyote' Chaniago, Firman 'Foxhound' Dwi Cahyono, dan Wastum 'Conda'. Selamanya aku akan menjadi Kopral Bono dan itu kehormatanku, kebanggaanku. Hormat bangga! entah apa artinya. Seperti halnya makanan, mustahil kucicipi semua. Seperti halnya makanan, rasanya akan sama saja. Hanya panas bahkan lecet didapati pada akhirnya. Kuacungkan lagi, kali ini pedangku.
Pedangku bergagang perak, berbilah putih bermata dua, bersarung jingga berantai emas. Pistol mitralyurku hitam memuncratkan air diberikan kepada anaknya Lik Tukino. Ada juga pistol koboi berwarna emas yang kukata lumayan beberapa meter melontarkan proyektilnya, yang ternyata hanya meleleh seperti mani sudah keluar tiga kali. Seperti petembak tepat yang jangankan tepat, menembak saja tak hahaha. Itu semua hanya beberapa tahun dan segera berlalu, menghadapi kenyataan hidup yang selalu nyata, tidak pernah khayal, semua karena bertemu orang-orang lain.
Biarlah aku kembali ke musim hujan itu, akhir 1990, awal 1991. Sudah pasti ingatanku tidak akurat, tapi biarlah. Bisa jadi bukan lodeh tempe, bisa jadi juga bukan teri goreng telur. Yang jelas, seekor cicak terluka parah dihantam bola meriam yang dimuntahkan Mauser C96 alias si gagang sapu. Ya, bahkan Sandoro si anak Humbang Hasundutan itu tahu ini semua sekadar trivia, remeh-temeh. Maka biarlah aku melontar diri dan khayalku ke musim hujan awal 1993 itu, atau bisa jadi akhir 1992, ketika aku berjalan di sepanjang Pecinan dengan toko roti sebagai tujuan.
Selalu saja roti pizza-pizza'an yang terkenang, mungkin juga es krim. Atau lebih baik kerang goreng dan mienya sekali. Begitulah aku tidak pernah berhenti tolol sampai hari ini. Mengapa aku bersikeras dengan ketololanku, mengapa bebal begini aku. Aku mengira diri begini begitu, nyatanya aku masih berseragam pesiar biru-biru langit, berdasi berbaret biru tua, bersepatu kulit hitam mengilat. Adakah baretku waktu itu ngarang-ngarang sok baret hijau, mengingat aku sudah hampir paling senior. Ketika aku benar-benar yang paling senior, tololku menjadi-jadi.
Menembus api, menembus batas, menembus dinding