Saturday, September 21, 2024

Aku Sekali, Dua Kali, Tiga Kalinya Lelaki. Wassalam.


Sore bermendung berbalsem ini, aku tidak ingin mengitiki sesuatu apapun yang memaksaku memeriksa akurasi fakta. Setua ini memulai sesuatu yang sama sekali baru, kata Takwa. Bagaimana jika ternyata memang tidak pernah memulai apapun. Kesedapan ini yang membelai indera pendengaran, yang bukan sekadar salah satu dari lima. Kesedapan ini, adakah yang tidak membawa derita. Kesengsaraan ini, adakah yang tidak membawa nikmat. Mungkin sama panjang dengan bocah Sasak, namun bagiku terlalu panjang. Sesedih itukah kisah-kisah kami, sedihkah 'ku ini.  
Bocah hitam kribo yang cuma tahu main bola, anak orang kaya. Ibu yang suaminya sekitar tiga puluhan tahun lebih tua. Seorang dokter yang hanya punya satu pasien, yakni ibu pertiwi, yang jari kelingkingnya hilang seruas digigit istrinya yang separuh sinting. Terlepas separuh atau lebih atau kurang, dapat dibayangkan bau lemak teroksidasi menguar dari setiap lipatan. Semua ini adalah kepingan-kepingan teka-teki hidup, tentu saja bagi mahluk tolol yang dapat lebih tolol dari hewan ternak apatah monyet. 'Ku suka goyang-goyang, kau suka goyang-goyang, kita suka... goyang!

Kubasuh luka-luka hatiku dengan air hangat, sepertinya membasuh sisa-sisa coklat panas. Tak ingin 'ku kembali ke tempat 'ku terluka, yakni masa laluku, masa lalumu, masa lalu siapapun. Apa ada di hadapanku kini, ringkasan disertasi. Setelah Bang Isal, lalu Arif Arrahman, lalu siapa lagi. Kuacungkan tombakku tinggi-tinggi ke angkasa, meski tidak pernah 'ku jadi prajurit sungguh-sungguh. Aku sekadar prajurit karnaval tujuh belasan, meski yang katanya sungguhan 'kurasa juga merasa palsu, main-mainan belaka. Biar Teguh jadi Tanguy aku Laverdure-nya. Tak mengapa.

Ini seperti petualangan Bono 'Viper' Priambodo, Gundo 'Panther' Widyanto, Reza 'Jaguar' Yanuar, dan Herman 'Puma' Susanto, atau siapapun boleh jadi begitu, termasuk Yulmaizir 'Coyote' Chaniago, Firman 'Foxhound' Dwi Cahyono, dan Wastum 'Conda'. Selamanya aku akan menjadi Kopral Bono dan itu kehormatanku, kebanggaanku. Hormat bangga! entah apa artinya. Seperti halnya makanan, mustahil kucicipi semua. Seperti halnya makanan, rasanya akan sama saja. Hanya panas bahkan lecet didapati pada akhirnya. Kuacungkan lagi, kali ini pedangku. 

Pedangku bergagang perak, berbilah putih bermata dua, bersarung jingga berantai emas. Pistol mitralyurku hitam memuncratkan air diberikan kepada anaknya Lik Tukino. Ada juga pistol koboi berwarna emas yang kukata lumayan beberapa meter melontarkan proyektilnya, yang ternyata hanya meleleh seperti mani sudah keluar tiga kali. Seperti petembak tepat yang jangankan tepat, menembak saja tak hahaha. Itu semua hanya beberapa tahun dan segera berlalu, menghadapi kenyataan hidup yang selalu nyata, tidak pernah khayal, semua karena bertemu orang-orang lain.

Biarlah aku kembali ke musim hujan itu, akhir 1990, awal 1991. Sudah pasti ingatanku tidak akurat, tapi biarlah. Bisa jadi bukan lodeh tempe, bisa jadi juga bukan teri goreng telur. Yang jelas, seekor cicak terluka parah dihantam bola meriam yang dimuntahkan Mauser C96 alias si gagang sapu. Ya, bahkan Sandoro si anak Humbang Hasundutan itu tahu ini semua sekadar trivia, remeh-temeh. Maka biarlah aku melontar diri dan khayalku ke musim hujan awal 1993 itu, atau bisa jadi akhir 1992, ketika aku berjalan di sepanjang Pecinan dengan toko roti sebagai tujuan.

Selalu saja roti pizza-pizza'an yang terkenang, mungkin juga es krim. Atau lebih baik kerang goreng dan mienya sekali. Begitulah aku tidak pernah berhenti tolol sampai hari ini. Mengapa aku bersikeras dengan ketololanku, mengapa bebal begini aku. Aku mengira diri begini begitu, nyatanya aku masih berseragam pesiar biru-biru langit, berdasi berbaret biru tua, bersepatu kulit hitam mengilat. Adakah baretku waktu itu ngarang-ngarang sok baret hijau, mengingat aku sudah hampir paling senior. Ketika aku benar-benar yang paling senior, tololku menjadi-jadi.

Menembus api, menembus batas, menembus dinding 

Thursday, September 12, 2024

Membangun Alur, Aku Kesal. Sampai Kapan Begini


Akankah sanggup mengetiki dalam keadaan seperti ini, tentu saja tidak. Untunglah pada 18.30 Samekto menghentikan rapatnya, aduhai lega rasanya. Aku cuma harus menahankannya agak sebentar meski menjengkelkan. Sebenarnya bukan mengetiki ini benar yang menjengkelkan, melainkan tivi yang tepat berada di telinga kananku, meski sudah disumpal ia dengan aquarius. Tahukah apa yang ada dalam cangkir aston itu. Ya, serbat jangkrik sereh masih disimbah madu tresno joyo masuk angin. Puji Tuhanku tak masuk angin sekarang.

Inikah waktunya memasang gambaran yang kusiapkan magrib tadi. Mari kita coba, sedang membangun alur berkumandang di telinga. Berhari-hari sekadar memasang gambar menjengkelkan itu. Ternyata hanya gambar rata kanan-kiri yang dapat dipasang sebelum teks, meski tidak banyak bedanya, sama-sama merepotkan. Kalau begini bagaimana, berapa banyak baris harus dibuat untuk memastikan jumlahnya sama. Uah, dikocok begini memang enak sekali. Masa dimulai bintang-bintang dilanjut kau dan aku lalu malam-malam sepi. Hahaha ternyata hanya perlu dikira-kira.

Menginap di hotel begini memang tidak banyak gunanya, karena selalu saja hanya sebentar-sebentar, sekadar untuk tidur semalam, sarapan sepagian. Padahal tempat senyaman ini seharusnya cocok untuk berkarya, berpujasastra. Uah, ini lagi tiba-tiba engkaulah yang terbaik dalam hidupku sejak dahulu, yang ternyata bentuknya sungguh lucu. Aku sudah terlalu tua untuk bercinta-cinta. Aku cukup begini saja, menjalani hidup dalam cinta; yang jika kubiasakan terus berima begini, sama saja dengan Leonard bermimpi ingin menjadi bintang rap, meski'ku berakhir ilmuwan.
Seluruh alam semesta kita berada dalam keadaan panas dan padat ketika aku menahankan hari-hariku di ruang duduk Uilenstede yang kala itu serasa takkan berakhir. Sekarang pun belum berakhir untukku dan Hadi, penantian ini, sudah untuk Bang Isal. Tahniah! Biarlah kini, sementara ini, kunikmati sedap-sedapnya bergoyang berayun-ayun dari masa kecilku yang mencintaimu sebagaimanamu. Adakah aku pernah ke kampung kalian lalu bermain ayun-ayunan di tepi semacam danau, yang mungkin sebenarnya sekadar empang semacam yang ada di Nging Kemang, kurasa.

Ini adalah pemandangan ke arah utara, kurang lebihnya. Di sudut kanan bawah agak ke tengah itu jalan keluar masuk yang lumayan panjang. Tepat di depan gerbang disambut Alfamart, ke timur sedikit Indomaret, pembunuh-pembunuh hipermarket ini; biar mampus! Tidak ada pula kenangan manisku pada kalian kecuali sedikit makanan yang tiada istimewa atau buku-buku yang diobral. Betapa sia-sia umur yang telah kubuang selama ini, entah berapa yang berguna: Aku akan selalu mencintaimu. Cinta yang selalu cantik, cinta dalam hidupku, Sayangku.
Aku belum pernah ke Berlin maka nafasku tidak pernah diambil siapapun. Aku hanya pernah tinggal di Amsterdam agak beberapa waktu, juga Maastricht. Aku tidak pernah benar-benar ke tempat-tempat lainnya. Aku hanya suka makan pisang yang sudah cukup matang, seperti cantik suka pisangnya matang dalam nagasarinya. Aku ternyata juga tidak terlalu suka carbonara, entah adakah yang benar-benar pas bagiku. Meski dalam keadaan seperti ini, bolognese bahkan aglio olio terasa berlebihan untukku. Mengapa lancar sekali aku berbicara mengenai makanan [keluh].

Kapanpun aku tak pernah suka menyusuri jalan pulang ke rumah dari gerbang atau armada, karena lewat manapun pasti bertemu setan pocong. Lebih baik jalan pintas memotong melalui pangkal jayapura, sungguh sudah lama sampai tiada terasa, karena nyatanya memang hanya dua tahun. Sebenarnya sama dengan Amsterdam, Maastricht dan sebagainya. Seperti ketika menghabiskan waktu-waktu di Palembang yang sudah pasti lebih dari sehari namun sesungguhnya tidak lama. Entah berapa pempek tunu kuhabiskan ketika itu, entah bagaimana kulalui semua itu. Entahlah.