Monday, August 26, 2024

Sejuk, Terang, Hiruk-Pikuk Tempatku Berada Kini


Bagaimana dulu aku bisa berkata aku suka bekerja dalam keadaan berkeringat-keringat. Apakah ketika itu perubahan iklim belum mencapai krisis seperti sekarang ini. Namun ini kebatan siang tadi, ketika Awful dan tantenya baru pulang dari sekolahan dan ia mengajak mencari kesejukan. Kini aku sedang berada di tempat sejuk yang terang namun hiruk-pikuk. Cantik baru saja meninggalkanku dan aku baru saja meninggalkan bukukrom bersama ponselku sekaligus gara-gara penyeranta berbunyi menandakan coklat panas pesananku sudah siap. Hm, minuman ini sedap.
Mungkin saking karena tidak ada yang membuatku bersemangat akhir-akhir ini, sudah cukup lama, bahkan lama sekali, aku merasa agak bersemangat menanti datangnya semester baru. Padahal sudah dari semester lalu pendekatan afdol digelar, apa bedanya dengan sekarang. Apakah semata karena bahannya sudah lebih lengkap dari sebelumnya. Aku lantas saja berkhayal mengenai rumah dengan ruang kerja pribadiku. Sejuknya seperti sekarang ini, tidak terang cenderung temaram, namun hening, hanya terdengar samar-samar suara-suara siang atau malam hari.

Kuseruput habis coklat panasku, menyisakan cangkir kertasnya yang kupajang di atas meja sekadar agar aku tetap boleh di sini. Rp 37 ribu sungguh mahal, bisa empat kali menyeduh sendiri di rumah, semakin membuatku rindu pada rumah yang belum ada itu. Dulu di Amsterdam segala sesuatunya relatif nyaman, kecuali rasa sepinya yang betul-betul mencekam. Adakah aku mengeluh mengenai cuaca pada ketika itu. Kesehatan memang bisa terganggu dalam situasi apapun. Ah, mungkin karena sekadar kenangan terasa nyaman, apa yang dialami terasa kurang.

Mungkin sudah lebih dari dua kali seumur hidupku makan bánh phở, tapi di sini jelas baru dua kali, tahun lalu dan tahun ini, dan keduanya selalu vegan. Jika sudah tua mengurangi gula, sudah mengurangi gula masih mencoba-coba. Sungguh kucinta padamu. Tak mungkin kupungkiri suara hati ini lagi. Memang tak semudah mengucap kata, tapi kesungguhan kita berdua. Selama cinta melanda kehidupan janji bersama. Setua ini, padahal masih muda kata orang, yang kuinginkan adalah cinta agung, tidak lagi kecil-kecil, yang bahkan tak sanggup lagi kuragakan apatah merasakan...

Masih tiga. Sudah sejauh ini suka tidak suka sebaiknya diselesaikan. Aku baru saja membeli lima saset minuman coklat keluaran wings food, mungkin yang termurah. Aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan sekarang. Rasanya seperti hampa, seperti tidak peduli apakah senang atau susah atau apapun. Meski melodi-melodi dari jaman Maastricht memenuhi ruang tengah, meski urutannya berbeda, aku tetap menghabiskan serbat sereh dicampur madu masuk angin. Benarkah aku bersemangat menghadapi semester baru, karena semata panasnya cuaca.

Tinggal dua, aku tahu aku memaksakan diri. Bukannya tidak biasa yang memang selalu sedap ini, siapa tahu besok aku bersemangat melahap sebungkus nasi berlauk telur balado dengan sayur tahu labu siam sementara mengajar kelas kapita selekta masalah aktual hukum adat, dilanjut hukum kekeluargaan dan kewarisan adat. Rasanya seperti aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal ini. Seharusnya memang anak-anak seumuran Hanna Arinawati, di mana hidup masih membentang luas di hadapannya, yang berbicara panjang-lebar luas-dalam tentang apapun. 

Akhirnya tinggal satu, dan Hanna itu seumuran anakku, bahkan lebih muda lagi. Bahkan Ququq tidak mungkin lebih sotoy lagi dari sekarang, bahkan Awful sudah menunjukkan tanda-tanda. Kuharap kambing tidak terlalu ambil pusing kenyataan bahwa jalan di depan batalyon zeni tempur berlubang-lubang. Mungkin karena zeni tempur bukan zeni konstruksi. Mungkin di situ pula Eri Budiman lahir. Aku bahkan tidak punya dorongan sedikit pun untuk mengutuki diriku, saat ini, meski rasaku lebih baik dari kemarin. Kemarin daku lemas pula mengantuk sepanjang hari... 

Saturday, August 17, 2024

Renungan Kemerdekaan ke-79. Ngungun, Nggetuni


Aku selalu tahu kalau di situ ada suara cello menemani vokalnya pakde Russell, namun baru sore menjelang ashar ini terasa begitu mengena. Benar saja, baru satu kalimat, adzan ashar sudah menggema membahana dari masjid qoryatussalam. Ketukan piano memang mendominasi nada-nada awal yang kau cintai, namun gesekan cello seperti perasaan hangat yang membalut sepasang kekasih tua, yang sudah puluhan tahun mencinta. Orkestrasi pada lagu-lagu pasokan udara memang menegaskan jatidirinya dalam genre batu lembut. Ini entri mengenai apa sebenarnya.
Uah, ini lagi kuasa cinta menghembalangku tunggang-langgang ke atap asbes sepanjang cimone gama satu, tempatku bertengger ketika baru saja memproduksi testosteron. Namun harum wangi masakan ibu, apapun itu, yang akan selalu kukenang sepanjang hayat. Apakah itu tumis buncis tauco atau semur lapis. Betapa bapak bekerja keras sekali ketika itu, di usia awal empat puluhan. Ketika ia mengira segala sesuatu telah berada pada jalur yang semestinya, seperti pesawat terbang sudah berlari di landasan pacu tinggal menunggu mengudara, aku menghancurkannya...

Ketika kau tanpa cinta menyeretku ke masa-masa di antara itu, masa-masa berkhayal mengenai misi membantu pemerintah Makronesia memberantas pemberontakan komunis, dan masa-masa kubuyarkan segala pidato bapak sebagai perwakilan taruna terbaik naik pangkat kopral. Di sini aku jadi teringat Syukran yang menjadi tolok ukur Takwa sampai-sampai ia masuk Teknik Kimia ITB. Dari jaman itu sampai kapanpun aku akan selalu menjadi si tolol dengan pikiran yang muluk-muluk, tidak seperti Takwa yang mengandalkan daya saingnya yang hebat.

Ini pasti waktunya bercinta. Dekap aku kuat-kuat, cintaiku semalam suntuk mengembalikanku ke atas atap asbes cimone gama satu. Namun malam ini mengembalikanku kepada Syukran yang punya kaset pasokan udara bergambar balon udara, yang setelah kugugling ternyata yang kucintai dari 1981, bagaimana bisa. Entah bagaimana, tetapi begitulah ingatanku, seperti selalu kukatakan pada anak-anak yang belajar hukum adat: akurasi fakta tidak penting, yang penting afeksi, semangatmu mengenai topik-topik yang dibahas. Antusiasme saja dapat memberimu A.

Nah, biar tidak bingung memang harus kurang dua orang kesepian. Ini adalah pavilyun di sore hari menjelang ashar yang bahkan aku tidak ingat apakah sholat atau tidak. Aku hanya ingat aku dikatakan "nyantri" oleh ibu ketika sedang mendengarkan sandiwara radio dan sepertinya buru-buru sholat ketika adzan ashar berkumandang. Aku lahir dua hari sebelum ulang tahun kemerdekaan bangsaku yang ke-31. Akan tetapi, gara-gara melodi yang tidak dirantai aku terlontar ke rumah pesiar di malam hari sebelum jam 20.30, karena 21.00 kami sudah harus apel pulang pesiar.

Aku membutuhkan cinta ibu, istri, dan anak-anak perempuanku. Kenapa harus anak perempuan, tanya Awful. Karena anak laki-laki, seperti aku, menghormati, mengagumi, memuja. Ya, meski kini setelah bapak meninggal aku menyesal mengapa aku tidak memeluknya ketika hidup. Aku juga tidak bisa membayangkan memeluk anak-anak perempuanku, terlebih kini setelah mereka beranjak dewasa. Di hari kemerdekaan bangsaku yang ke-79 ini, aku membutuhkan cinta, seperti banyak saudara-saudara sebangsa setanah-airku, terlebih yang hidup di kolong jembatan.

Oh, Jade. Mengapa kau bawa aku kembali ke masa-masa menyenangkan ini, yang enggan kulepas dari anganku, yang kukenang-kenang tiap saat kumerasa sendu. Aku nyatanya tidak punya banyak kecuali kenang-kenangan ini. Bahkan seluruh goblog ini adalah mengenai kenang-kenanganku, yang tadinya ingin kuwujudkan lagi, kuhadirkan lagi dalam bentuk wadag, namun tanpa segala kesakitan dan kepedihan yang ditahankan bapak ibu. Kurasa memang tolol rencana seperti itu, karena yang seperti itu mustahil di sini. Dunia ini tempat segala sakit dan pedih.

Nusantara Baru, Indonesia Maju, Kentutku Bau

Sunday, August 11, 2024

'Ku Tak'kan Pernah Melepas 'Ku Beri S'luruh Cintaku


Apa cocok memulai Minggu pagi bercinta bersama tante Geri dengan rambut keriting kribonya khas 1980-an. sedang di bawah ini adalah sampul the Beatles compleat. Ini adalah salah satu kenangan betapa Ibu suka sekali mengoreksi ketololan, dan betapa kemudian-kemudiannya aku sendiri yang berbuat berbagai ketololan, misalnya: "This is my book. I am buying this book is in pasar anyar." Apa aku harus menyalahkan bukunya, mengapa ia mengajarkan present continues terlebih dahulu sebelum simple present. Apa iya begitu. Apa semua memang salah sendiri.
Haruskah kucatat Rahmadhani Nur Widiyanto canggung bahasa Inggrisnya, sedang pagi ini aku terjerembab di awal 1996 M yang kiranya bertepatan dengan Ramadhan 1416 H. Jiah, ini lagi, siapa yang tidak akan pernah mengecewakan, yang 'kan selalu berada dekat 'ku, di sini untukku, karena mencintaiku. Itu membuat Ramadhan 1417 H jatuh pada sekitar akhir 1996 M. Masya Allah, dua Ramadhan dalam setahun masehi, seharusnya tahun itu adalah tahun yang diberkati. Namun aku terlalu tolol untuk menyadarinya, terlalu banyak kesakitan mendera. Oh, amat sakitku.

'Tuh, seperti di atas, aku sering berbuat kesalahan. Satu tahun masehi dengan dua Ramadhan itu terjadi pada tahun berikutnya, yakni, 1997, pada 10 Januari dan 30 Desembernya. Aku takkan pernah membiarkanmu pergi, 'kan kupeluk kau dalam dekapanku selamanya. Siapa. Tentu saja cantik. Mengapa tidak kau datang semenjak itu. Mengapa tidak kau selamatkan daku. Ah, lelah hayatiku. Adaku sekarang ini masih terus-menerus menanggung kesakitan demi kesakitan. Hanya saja ada cantik di sisiku, tak jauh dariku, bila-bila menghambur padanya mencari nyaman. 

Burung-burung malam yang menutup puncak terbaik ketujuh pun tak pernah jauh dariku. Sampai 20 tahunan pertama hidupku selalu beterbangan, berhinggapan di sekitar nuraniku, sedang hati sanubariku berdegup-degup masih nyaman dalam rongga dadaku. Apakah ketika itu tiga kali dua bungkus mie instan lengkap dengan uborampenya kujejalkan melalui belakangnya menyesakkan lambungku, seperti mie ayam jamur masih dihantam fuyunghai dan capcai dengan nasinya membuatku tersiksa kekenyangan di kakus lantai dua cipinang jaya. Amat panjangnya.

Terlebih jamannya mbak Debby ini aku belum mengenal kesakitan atau sudah. Masa-masa yang tidak ada gunanya, bahkan ketika tiga tahun di Magelang itu. Tak perlu dijelaskan karena memang tiada yang berminat. Tak perlu diceritakan karena memang tiada yang mendengar betapa pernah kupandang gunung sumbing dari kakinya, di sebuah perumahan entah di mana. Mungkin tante Nesti membelikannya untuk oom Nonong. Apakah semua orang mengalami kesakitan-kesakitan pada saat itu, atau hanya yang tolol sepertiku, tak bisa dibandingkan dengan gang pepayamu.

Dini hari menjelang subuh terbangun, apakah karena tenggorokan kering. Minum segelas air, menyalakan tivi hanya untuk dikatakan tak bisa dibandingkan denganmu. Setelahnya tentu aku tidur lagi, meski tak bisa kuingat kapan bangunnya, setelah itu mengapa. Apakah ke stasiun UI agak ke selatan, membeli nasi uduk portugal itu yang kusukai lebih dari lain-lainnya karena becek berkuah berbumbu. Apakah setelah itu memakannya di meja direktur yang sentosa sedang tiada sesiapa di situ, atau malah mencongklang VarioSty gaya-gayaan pura-pura seperti dosen BHMN UI.

Kini di belakangku kambing dan orong-orong menonton kartun seperti sepuluhan tahun lalu. Kini sudah sepuluhan tahun berlalu dari sepuluhan tahun lalu. Kini aku sudah tak sesehat sepuluh tahun lalu karena kuterus-teruskan kebiasaan dari sepuluh tahun lalu bahkan lebih, dari ketika sarapan dengan nasi uduk portugal itu. Entah sudah berapa versi nasi uduk mengisi hatiku, tiada yang menandingi rampok baru yang nomer dua pasar kebayoran lama itu. Semua karena bapak. Hidup memang hanya begini saja, maka pastikan mengisinya dengan hal-hal yang berguna. Oke.

Tiada yang 'kan mengubah cintaku padamu