Friday, June 28, 2024

Gadis Kecil Tidak Bermurah Hati dengan Hujannya...


...dan gadis kecil ini berbahasa Spanyol, seperti Luis Bordon, meski aku tidak yakin apakah, seperti Luis Bordon, ia berasal dari Paraguay. Setua ini sudah habis sama sekali, jangankan keinginan, sekadar khayalan untuk apapun, seperti ketika kucoba menahankan Kuba di Selexyz Dominicanen. Apakah kulakukan di kloset lantai dua Laathofpad Zes sampai di Sint Antoniuslaan. Seperti biasa, menyebut tempat-tempat bernama asing seakan-akan seperti orang-orang. Padahal bisaku ya hanya ini, ngomyang. Ini, mengetiki seperti ini padahal tidak satu pun akan peduli.
Paragraf di atas dan judulnya sekali berasal dari 17 hari yang lalu. Saat ini, aku menyendiri bersama Roxann tanpa "e" di sebuah pojokan temaram yang selalu kusuka entah sejak kapan. Entah sudah berapa pojok temaram kualami dalam hidupku. Aku jadi ingat meja direktur yang begitu selesa sampai memakan tempat, di pojokan itu dekat mesin air. Pendingin udara menyembur dari hadapanku. Di bawahnya sofa yang disainnya disederhanakan Mang Yayan atas permintaanku. Uah, ketika itu Sopuyan yang bikin gara-gara. Kali ini aku. Aku nan bikin gara-gara bikin unit riset.

Sekarang bahkan aku harus mengurangi drastis konsumsi teh hitamku. Teh hijau boleh. Kopi bahkan boleh, andai lambungku masih bisa menahankan. Rumah bapak entah bagaimana membawaku kembali ke bekas kamar praktek dr. Hardi Leman yang seingatku sejuk meski tanpa pendingin udara. Temaram juga karena bohlamnya diselubungi selongsong bekas tisu gulung, akal-akalan adikku. Jadi selongsong itu digunting sehingga bisa melebar mengikuti lingkar perut bohlam. Tas koper bekas seminar kagungan swargi Pakde Lentu, coklat dengan sedikit batik, berisikan alat-alat tulis. Uah, apalagi yang ini. aku akan di sisimu.

Sebenarnya di depan jendala ini, memandang ke taman jurasik baik siang maupun malam hari begini, nyaman juga. Meja ini pun seingatku dibeli agar aku dapat bekerja di sini. Memang cukup bukukrom ini saja jika untuk bekerja. Bukan sekadar, melainkan memang untuk bekerja. Untuk apa yang lainnya. Benarkah aku masih ingin menghancurkan peradaban-peradaban. Teringat kembali di lantai dua Laathofpad Zes membangkitkan bangsa-bangsa, sedang di luar Veolia membelah salju. Semua ini bercampur aduk jadi satu, bagai gado-gado atau rujak petis, yang kualami.

Hahaha jika kuingat-ingat '88-'89 itu di sebelah utara, sedang '89-'90 di sebelah selatannya. Tak satupun yang kulakukan dapat menggantikanmu, begitu kata Jimmy Harnen, Aku masih kelas satu esempe waktu itu, sebesar Adjie sekarang. Adjie pikirannya cornering tok. Aku, apa benar yang kupikirkan waktu itu, sebagai anak terpandai satu SMP Islamic Village. Termasuk yang ini, setengah gila, terasa benar ketika itu, meski sudah ada sejak sebelum pindah. Masakan Ibu, uang belanja dari Bapak. Aku di awal '90-an. Bapak di pertengahan '60-an. Adjie di awal '20-an. Ya.

Sebelum terharu-biru, aku terbetot maju sekitar enam sampai tujuh tahun ke depan. Tidak pernah temaram benar, karena selalu memakai neon meski yang diulir ke fitting bohlam, suatu inovasi khas '90-an. Meja tulis Bapak yang Ligna ada padaku, entah bagaimana cara membawanya aku lupa. Terpenting, rak buku kecil jelek buatanku sendiri. Bukunya sedikit tetapi kubaca semua. Terpenting, kaset-kaset Ibu. Beberapa di antaranya pernah menemaniku di Magelang. Di sini, Christie menjelang dan menyeretku ke pusaran waktu, terjerembab di mulut jalan tol peti kemas.

Seandainya rasa seperti ini selalu saja, rasa-rasanya aku dapat memberondongkan semacam "Kebangsaan Indonesia di akhir Abad ke-20" atau yang sebangsanya. Akankah ini mengantarkanku ke suatu tempat, atau seperti halnya "Kebangsaan", ia cuma membuat Bapakku mengira aku menjanjikan. Seperti gambaran-tiga-pandangan U-2 Capung. Oom Novi meninggal setahun sebelum Bapak. Aku kembali lagi ke Gama I, anak tolol seumuran Adjie. Semoga kamu terlindungi dari ketololan-ketololan Pakdemu ini, 'Nak. Mungkin lebih baik sepertimu, cornering.

Sunday, June 09, 2024

Sigembel Medhok Merdeka Menjadi Judul Nirkreatif


Adanya Sigembel bisa jadi medhok, ada Hari Prasetyo lagi nonton Fanny Soegi si Cinten Semawis, ternyata sudah dari pertengahan bulan ini. Seberapa banyak lagi rasa tidak enak yang harus ditahankan. Sedang badan terasa lelah, meski yutuban tetap saja mendengar aneka macam musik. Kini malah musik jaman baru, mungkin harus dicari tahu mengapa musik begini disebut jaman baru. Apa karena klaim-klaim sanggup menyembuhkannya, menenangkannya. Ya, ternyata memang musik jaman baru yang Insya Allah membantu badan menyembuhkannya.
Ini dari 16 Mei yang lalu. Oh, ternyata saat itu pun badan tidak enak. Bedanya, di depan rak buku bidang studi hukum administrasi negara, di sebelah Hari Prasetyo. Insya Allah ini pun akan berlalu seperti ketika 16 Mei itu berlalu. Sudah tiga minggu Sigembel dibiarkan sendiri di sini, sedang hidung diolesi obat penyegar. Insya Allah menjadi segar-bugar, sehat, bregas, waras. Tidak jadi retroaksi, Sigembel dibawa maju ke tiga minggu kemudian. Bukan di bidang studi, melainkan di meja tulis di kamar, menghadap taman jurasik. Ah, telinga dibuai melodi penyembuh.  

Kini suasananya lain lagi. Tadi sebelum senter LED dinyalakan, ruangan bagai bercahaya lilin. Masalahnya kibor krombuk tidak ada pencahayaannya. Maka berpadulah cahaya lilin yang hangat dan cahaya terang tengah hari bolong, sedang Michael menemani entah sejak kapan. Betulkah sejak SMA, mana Entrasol Emas ini rasanya mirip dengan Bonus, meski tidak ada aroma kedelainya, dari masa-masa yang jauh lebih muda. Sekadar karena hanya ini kebisaan, seperti dahulu menulisi buku tulis tebal berwarna merah yang dibawa ke mana-mana, gunanya sedikit.

Dahulu bahkan ada tahun-tahun dengan berbulan-bulan tanpa entri. Apa saja yang dihasilkan bersama matahari terbenam Karibia, bahkan ada juga rasa kacang karebia. Masih syukur malam-malam begini masih bisa menghirup Entrasol Emas, semoga benar-benar berkhasiat. Ada juga menghirup kopi hitam pahit satu cangkir kertas kecil, meski dihirup-hirup sedikit-sedikit sampai habisnya baru sore hari. Meski urutannya tidak sama dengan kasetnya, ini justru yang asli. Bagimu secara instrumental, uah, dari masa kecil di Kemayoran, bekasnya saja sudah tiada. Tidak apa.  

Katanya mengenang-ngenang masa lalu membangkitkan energi negatif, namun malam-malam di kamat temaram yang terkadang diterangi oleh lampu tempel benar-benar. Meski ketika kepada Haji Thobroni diutarakan kebetahan tinggal di rumah kambing pun sekadar lampu tempel, katanya. Lantas lampu-lampu bohlam watt kecil di rumah-rumah pedesaan di bilangan Legok Angris di tengah malam buta yang basah. Semoga semuanya penuh kedamaian, kesucian, penuh ampunanNya, meski tentu saja Si Tolol tidak terpikir mengenainya kala itu. Pak, jangan cepat-cepat.

Margaret membawa kenangan betapa lainnya tidak penting asal memberat begitu. Tidak akan didapatkan semua karena memang mustahil, membawa kepada hujan lebat di sore hari di markas komando pasukan khusus. Entah mengapa terbawa ke situ. Tahun-tahun yang berlalu begitu saja, yang tak penting lagi bilangannya. Mengapa lantas menggebuk dram ketika mulainya dari portasound dilanjut bass, sempat mampir bellyra untuk berakhir di flut dan pikolo. Selalu terkenang ben kuningan itu memainkan merah muda kersen dan putih bunga apel. Itu awal mulanya.

Di sebelah terdengar para santri melantunkan sholawat atau entah apa, untungnya tanpa iringan marawis. Ternyata lebih dari satu permainan terlarangnya, dilanjutkan dengan desa. Desa itu. Kembali ke malam-malam yang basah itu, adakah sampai kurang tidur. Adakah sampai sakit. Kembali ke kamar bekas praktek almarhum dokter Hardi Leman, mengapa ia sampai mati. Sedang Bu Nani Muslimin adalah pemilik Fiat 124 Special B 122 AM alias Pak Tuek. Pernah ada juga Daihatsu Charade model paling kuno, yang penutup bannya dihempas Shawn di jalan tol.