...dan gadis kecil ini berbahasa Spanyol, seperti Luis Bordon, meski aku tidak yakin apakah, seperti Luis Bordon, ia berasal dari Paraguay. Setua ini sudah habis sama sekali, jangankan keinginan, sekadar khayalan untuk apapun, seperti ketika kucoba menahankan Kuba di Selexyz Dominicanen. Apakah kulakukan di kloset lantai dua Laathofpad Zes sampai di Sint Antoniuslaan. Seperti biasa, menyebut tempat-tempat bernama asing seakan-akan seperti orang-orang. Padahal bisaku ya hanya ini, ngomyang. Ini, mengetiki seperti ini padahal tidak satu pun akan peduli.
Paragraf di atas dan judulnya sekali berasal dari 17 hari yang lalu. Saat ini, aku menyendiri bersama Roxann tanpa "e" di sebuah pojokan temaram yang selalu kusuka entah sejak kapan. Entah sudah berapa pojok temaram kualami dalam hidupku. Aku jadi ingat meja direktur yang begitu selesa sampai memakan tempat, di pojokan itu dekat mesin air. Pendingin udara menyembur dari hadapanku. Di bawahnya sofa yang disainnya disederhanakan Mang Yayan atas permintaanku. Uah, ketika itu Sopuyan yang bikin gara-gara. Kali ini aku. Aku nan bikin gara-gara bikin unit riset.
Sekarang bahkan aku harus mengurangi drastis konsumsi teh hitamku. Teh hijau boleh. Kopi bahkan boleh, andai lambungku masih bisa menahankan. Rumah bapak entah bagaimana membawaku kembali ke bekas kamar praktek dr. Hardi Leman yang seingatku sejuk meski tanpa pendingin udara. Temaram juga karena bohlamnya diselubungi selongsong bekas tisu gulung, akal-akalan adikku. Jadi selongsong itu digunting sehingga bisa melebar mengikuti lingkar perut bohlam. Tas koper bekas seminar kagungan swargi Pakde Lentu, coklat dengan sedikit batik, berisikan alat-alat tulis. Uah, apalagi yang ini. aku akan di sisimu.
Sebenarnya di depan jendala ini, memandang ke taman jurasik baik siang maupun malam hari begini, nyaman juga. Meja ini pun seingatku dibeli agar aku dapat bekerja di sini. Memang cukup bukukrom ini saja jika untuk bekerja. Bukan sekadar, melainkan memang untuk bekerja. Untuk apa yang lainnya. Benarkah aku masih ingin menghancurkan peradaban-peradaban. Teringat kembali di lantai dua Laathofpad Zes membangkitkan bangsa-bangsa, sedang di luar Veolia membelah salju. Semua ini bercampur aduk jadi satu, bagai gado-gado atau rujak petis, yang kualami.
Hahaha jika kuingat-ingat '88-'89 itu di sebelah utara, sedang '89-'90 di sebelah selatannya. Tak satupun yang kulakukan dapat menggantikanmu, begitu kata Jimmy Harnen, Aku masih kelas satu esempe waktu itu, sebesar Adjie sekarang. Adjie pikirannya cornering tok. Aku, apa benar yang kupikirkan waktu itu, sebagai anak terpandai satu SMP Islamic Village. Termasuk yang ini, setengah gila, terasa benar ketika itu, meski sudah ada sejak sebelum pindah. Masakan Ibu, uang belanja dari Bapak. Aku di awal '90-an. Bapak di pertengahan '60-an. Adjie di awal '20-an. Ya.
Sebelum terharu-biru, aku terbetot maju sekitar enam sampai tujuh tahun ke depan. Tidak pernah temaram benar, karena selalu memakai neon meski yang diulir ke fitting bohlam, suatu inovasi khas '90-an. Meja tulis Bapak yang Ligna ada padaku, entah bagaimana cara membawanya aku lupa. Terpenting, rak buku kecil jelek buatanku sendiri. Bukunya sedikit tetapi kubaca semua. Terpenting, kaset-kaset Ibu. Beberapa di antaranya pernah menemaniku di Magelang. Di sini, Christie menjelang dan menyeretku ke pusaran waktu, terjerembab di mulut jalan tol peti kemas.
Seandainya rasa seperti ini selalu saja, rasa-rasanya aku dapat memberondongkan semacam "Kebangsaan Indonesia di akhir Abad ke-20" atau yang sebangsanya. Akankah ini mengantarkanku ke suatu tempat, atau seperti halnya "Kebangsaan", ia cuma membuat Bapakku mengira aku menjanjikan. Seperti gambaran-tiga-pandangan U-2 Capung. Oom Novi meninggal setahun sebelum Bapak. Aku kembali lagi ke Gama I, anak tolol seumuran Adjie. Semoga kamu terlindungi dari ketololan-ketololan Pakdemu ini, 'Nak. Mungkin lebih baik sepertimu, cornering.
Paragraf di atas dan judulnya sekali berasal dari 17 hari yang lalu. Saat ini, aku menyendiri bersama Roxann tanpa "e" di sebuah pojokan temaram yang selalu kusuka entah sejak kapan. Entah sudah berapa pojok temaram kualami dalam hidupku. Aku jadi ingat meja direktur yang begitu selesa sampai memakan tempat, di pojokan itu dekat mesin air. Pendingin udara menyembur dari hadapanku. Di bawahnya sofa yang disainnya disederhanakan Mang Yayan atas permintaanku. Uah, ketika itu Sopuyan yang bikin gara-gara. Kali ini aku. Aku nan bikin gara-gara bikin unit riset.
Sekarang bahkan aku harus mengurangi drastis konsumsi teh hitamku. Teh hijau boleh. Kopi bahkan boleh, andai lambungku masih bisa menahankan. Rumah bapak entah bagaimana membawaku kembali ke bekas kamar praktek dr. Hardi Leman yang seingatku sejuk meski tanpa pendingin udara. Temaram juga karena bohlamnya diselubungi selongsong bekas tisu gulung, akal-akalan adikku. Jadi selongsong itu digunting sehingga bisa melebar mengikuti lingkar perut bohlam. Tas koper bekas seminar kagungan swargi Pakde Lentu, coklat dengan sedikit batik, berisikan alat-alat tulis. Uah, apalagi yang ini. aku akan di sisimu.
Sebenarnya di depan jendala ini, memandang ke taman jurasik baik siang maupun malam hari begini, nyaman juga. Meja ini pun seingatku dibeli agar aku dapat bekerja di sini. Memang cukup bukukrom ini saja jika untuk bekerja. Bukan sekadar, melainkan memang untuk bekerja. Untuk apa yang lainnya. Benarkah aku masih ingin menghancurkan peradaban-peradaban. Teringat kembali di lantai dua Laathofpad Zes membangkitkan bangsa-bangsa, sedang di luar Veolia membelah salju. Semua ini bercampur aduk jadi satu, bagai gado-gado atau rujak petis, yang kualami.
Hahaha jika kuingat-ingat '88-'89 itu di sebelah utara, sedang '89-'90 di sebelah selatannya. Tak satupun yang kulakukan dapat menggantikanmu, begitu kata Jimmy Harnen, Aku masih kelas satu esempe waktu itu, sebesar Adjie sekarang. Adjie pikirannya cornering tok. Aku, apa benar yang kupikirkan waktu itu, sebagai anak terpandai satu SMP Islamic Village. Termasuk yang ini, setengah gila, terasa benar ketika itu, meski sudah ada sejak sebelum pindah. Masakan Ibu, uang belanja dari Bapak. Aku di awal '90-an. Bapak di pertengahan '60-an. Adjie di awal '20-an. Ya.
Sebelum terharu-biru, aku terbetot maju sekitar enam sampai tujuh tahun ke depan. Tidak pernah temaram benar, karena selalu memakai neon meski yang diulir ke fitting bohlam, suatu inovasi khas '90-an. Meja tulis Bapak yang Ligna ada padaku, entah bagaimana cara membawanya aku lupa. Terpenting, rak buku kecil jelek buatanku sendiri. Bukunya sedikit tetapi kubaca semua. Terpenting, kaset-kaset Ibu. Beberapa di antaranya pernah menemaniku di Magelang. Di sini, Christie menjelang dan menyeretku ke pusaran waktu, terjerembab di mulut jalan tol peti kemas.
Seandainya rasa seperti ini selalu saja, rasa-rasanya aku dapat memberondongkan semacam "Kebangsaan Indonesia di akhir Abad ke-20" atau yang sebangsanya. Akankah ini mengantarkanku ke suatu tempat, atau seperti halnya "Kebangsaan", ia cuma membuat Bapakku mengira aku menjanjikan. Seperti gambaran-tiga-pandangan U-2 Capung. Oom Novi meninggal setahun sebelum Bapak. Aku kembali lagi ke Gama I, anak tolol seumuran Adjie. Semoga kamu terlindungi dari ketololan-ketololan Pakdemu ini, 'Nak. Mungkin lebih baik sepertimu, cornering.