Saturday, April 20, 2024

Jaman Ketika Bolpoin Sudah Tak Ada Harga Dirinya


Siapapun yang melihatnya segera melupakan Monalisa. Bukan. Bukan gambar di bawah ini. Ini gara-gara cari gambar John Gunadi yang sudah mati malah ketemu Bunda Carlo. Seram 'kan. Entah tadi terpikir juga betapa pinggul bergoyang pun sudah tak ada harganya; sebelum terpikir bahwa bolpoin sekarang bukan tak ada harganya, melainkan tak ada harga dirinya. Aku. Tak terorganisir. Jih! Aku sangat terorganisir sama tak berharganya dengan klaim Cantik bahwa dirinya terorganisir; terus begitu selama bumi belum memuntahkan segala kejijikan yang dikandungnya.
Suatu lelucon pahit yang tragis, yang mana adalah aku bersamamu. Bukan kecoa. Akan selamanya kecewa selama bumi masih bergunung dan berlembah. Demikianlah hari demi hari menunggu apa yang ditunggu. Teringatnya, jangankan tahajud, subuh pun jam enam lewat agar tidur agak enam jam. Jika Tutankhamun pun pinggulnya bergoyang-goyang, berkaki pengkor, bergigi tonggos, berbibir dower, dan kemungkingan juga ndlongop mangap sampai ngoweh terus itu karena bapak ibunya kakak beradik kandung benar-benar. Ini baru lelucon pahit yang tragis. Gila ini.

Derasnya hujan membuat dahan-dahan merunduk membungkuk-bungkuk, maharajadiraja yang manapun takkan mampu menekuk jangankan punggung, batang leher, bahkan sekadar tatapan mata pun tak. Itu karena aku Maximus Decimus Meridius. Lampu dioda yang mengeluarkan cahaya menerangi papan kunci sementara angan melayang ke ruang bersama asmara, di depan kantin, di depan tivi, sebelum tengah hari, sedang merasa paling merana di dunia ini. Terlempar lebih jauh lagi ke belakang, mungkin setelah olahraga pagi. Apa pernah 'ku berolahraga.

Apakah ini waktunya berhenti mengenang-ngenang. Apa ini akhir nostalgila. Apa ini waktunya menatap masa depan, hari esok lebih ceria. Sedang anak-anak tolol yang sekarang sudah jadi bapak-bapak dan emak-emak paruh baya sedang berjoget-joget suka-suka, seakan dunia ini tak akan ada akhirnya. Selalu mengejar kepentingan diri sendiri, lalu cuek dengan derita sekitarnya. Ketiga jari-jari tangan kananku, telunjuk, tengah, dan manis berkuku agak panjang sedang tujuh sisanya dipapras cepak, karena aku gitaris. Tepatnya aku vokalis yang sering bergitar ritem.

Asal goblek asal ngomyang saja tinggal tiga, apalagi berpikir sedikit. Jika pun masih ada yang akan dijejalkan di ruang dan relung benak yang tersisa, maka itu adalah apa yang berbayar lima ratus ribu rupiah dan sejenisnya. Bagaimana dengan narasi-narasi dari EraMembaca. Itu boleh juga. Seperti Itang Yunasz yang jika lomba mirip-miripan aku juara satu sedang aku sendiri juara dua. Larasati yang berkuda itu biar untuknya saja, untukku remaja ceria yang nakalnya minta ampun. Entah bagaimana lancar sekali sekarang, meski ketiak tak bersabun, berbedak, berdeodoran.

Kebanyakan kitikan kode begini, begitu membaca lagi betul-betul tak terbayang lagi mengapa bilangnya begini maksudnya entah apa. Predisposisi artistik hendak diapakan jika tidak punya rasa tanggung-jawab. Astaga aku sekarang tua, harus mengajari anak-anak arti tanggung-jawab. Anak yang kehilangan nyaris segalanya di usia yang masih belum bisa disebut. Biarlah, bila begitu, aku ikut bernyanyi bersama kodok saja dari dasawarsa delapan puluhan, dari abad lalu. Seperti ketika di Amsterdam dulu, perut kanan atas sakit. 'Kubaik-baik saja sampai hari ini.

Ahaha, idolanya Seni Sri Damayanti dan adikku sendiri; tapi di sini memang cantik sekali bersama Irma June, secantik Cantikku. Memang sudah lama kusadari, kue kaget muncrat, Suzie Cola, dan entah apa lagi ketika Femina merayakan ulang tahunnya yang entah keberapa, dalam buklet memanjang itu, yang terpenting adalah kenangan betapa Bapak Ibu sungguh menyayangiku. Ya, semua itu menjadi kristal-kristal cinta yang membeku dalam hatiku, yang akan kutinggalkan di sini sebagai sesuatu yang mungkin tak berharga bagi siapapun. Tidak menjadi masalah bagiku.

Monday, April 01, 2024

Maret 2024 Cukup Tiga Entri Saja. 'Ku Senang Juga


Entah mengapa kubuat judulnya begitu dari beberapa hari yang lalu. Namun biarlah kucatat, minggu ini sungguh berbeda dengan minggu sebelumnya, terlebih minggu-minggu sebelumnya. Tidak mengapa. Aku hanya harus beradaptasi; dan ini, Insya Allah, adalah adaptasi menuju kebaikan. Apakah kebiasaan menyerak makna di sini juga harus diubah, jika ternyata mendengarkan lagu sedih dapat membawa sensasi nostalgia; dan itu menyehatkan. Setidaknya, menurunkan stres. Ternyata memang semakin ke sini, semakin beginilah gaya musik Francis Goya: Mengklasik.
Sumber: Klikdokter, (17/03/2023) Sering galau? Ini manfaat mendengarkan lagu sedih
Paragraf di atas, seperti dapat diduga [halah!], berasal dari minggu, bahkan minggu-minggu lalu. Judul yang dibicarakan pun bukan yang ada sekarang, melainkan semacam hanya temanku kini menanti di sudut sepi. Mengetik diterangi lampu senter begini, meski LED, gara-gara tetangga belakang meningkat rumahnya, dan gara-gara Cantik membuat kamar yang sekarang jadi kandang kambing. Meski bernostalgia memang menyamankan, meski itu pula yang sedang kulakukan kini, namun aku semangat menatap masa depan. Bayangkan... aku, masa depan. Amboina!

Mencintaimu adalah hal yang benar untuk dilakukan oh wow wow wow dum dee ree rum dum dum.
Ini bukan lagi retroaksi, entah apa ini. Ini suratan nasib, ketika inti suara A20i disumpalkan pada kedua lubang telinga dan begitu saja terdengar lagu puji-pujian bagi Putri Diana. Kini aku punya alasan kuat untuk menatap masa depan, meski masih saja mengitiki di sini. Entah jika entri-entri berikutnya menjadi koheren, seperti suatu narasi, suatu cerita, Jika pun tidak, tak mengapa, seperti malam di gedung kelas belakang Islamic Village, yang dekat rumah Yomi.

Penyesalan-penyesalan, aku tidak ingat ada penyesalan dari masa ini. Yang kuingat hanya bayangan mata raksasa yang terbentuk dari kepalaku sebagai pupilnya dan kedua belah tanganku melingkar pada asbes bekisting rumah sebelah. Ada juga pohon mangga di belakang rumah, di ujung Jalan Banjarmasin, Cimone Mas Permai. Nah, di sinilah mulai teringat suatu legendaris tragis. Apa ketika itu puasa. Apa masih seperti itu saja setelah hampir 30 tahun. Maka kutambah dua tahun agar bisa beringsut-ingsut pulang ke hangatnya Gama I No. 26; Hangatku sejuknya.

Jika pun keriangan Amerika dari Cerita Sebelah Barat, kamar Sul Luar di seberang ibunya Witch Grandma yang suka mendadak mengaji atau menyanyi. Baru saja kubereskan, aku tiduran di lantainya. Buat apa mengingat itu semua. Menatap masa depan itu yang benar, meski tidak ada masa depan bagi Anastasia Romanov pada jam-jam terakhir kehidupannya. Aku sedang menjalani hari-hari seperti ketika aku pernah menjalaninya, dari satu hari ke berikutnya. Bedanya sekarang ada gaji, banyak sekali jika dibanding ketika itu. Tiada namun bagiku pada titik ini.

Ini seperti Cosme McMoon, karena dengan piano, bukan Yo-Yo Ma yang memberi tremolo pada setiap nadanya. Ini dibalik, suara utamanya justru piano, iringannya ensembel gesek. Dengan inilah Cosme mendapatkan pekerjaan. Kurasa angsa ini memang semacam nomor kacangan bagi afisionado tulen musik klasik. Langsung teringat Kang Gani di sini. Apa yang bagus dari masa lalu. Yang bagus adanya di masa depan. Masa lalu penuh ketololan yang menjijikkan. Makan sudah tak sedisiplin awal-awal.

Kukira tadi ketiak masih basah, ternyata sudah kering. Begitu saja setiap hari. Aku memulai goblok ini ketika kepercayaan diriku utuh kembali, setelah sekitar 4 tahun sebelumnya remuk jadi debu. Tidak ada yang dapat kuharapkan dari kini, apalagi masa lalu. Semua adanya di masa depan. Romansa yang ketukannya dilipatgandakan, dilanjut dengan hidup di lain tempat yang entah mengapa membawaku kembali ke Barel di masa jayanya, ketikaku masih muda. Nasi goreng ibunya Soleh masih dibeli kwetiaunya, entah rebus atau gorengnya. Sehatku karena masih mudanya.