Kini matahari telah terbenam di Karibia sini, padahal sebelumnya Michael menarikan tarian terakhirnya dengan senandung masa kecilku. Ini semua karena aku harus menyiapkan pemegang-tempat dan gambaran lebih dulu sebelum mulai mengetiki. Padahal ini mengenai hari ulang tahun anakku sayang, anak perempuan satu-satunya, darah dagingku sendiri. Ini semacam surat kepada orangtua, mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih atas segala kasih-sayang yang tercurah. Hari-hari seperti ini ada saja hampir dalam hidupku, semoga Allah senantiasa berbelas kasihan padaku.
Apakah aku, sebagai bapak, berjalan terlalu cepat. Bisa jadi, semata karena berusaha menghemat uang. Ingin cepat-cepat sampai di rumah juga, karena Lantai 2 Institut Seni, Sains, Teknologi, dan Humaniora aduhai sungguh pembekunya. Aku punya sebuah pertanyaan, begitu saja 'kukatakan pada Ah Hui. Mengapa kau memilih adegan Pandawa Dadu ini untuk ruang kerjamu. Aku tidak tahu ini mengenai apa, tukas Ah Hui. Aku hanya menyukainya karena ia terlihat timbul, seperti tiga dimensi. Memang orang hebat harus sederhana seperti Ah Hui. Tidak seperti aku.
Aku pun, seperti Ah Hui, punya ruang kerja. Parul punyakah. Apa perlu 'kukenang-kenang pada ketika mereka berempat berkeruntelan di tepi Ciliwung, sedang aku di bantaran bertebing yang lebih tinggi. Di kamar mandi ada sebuah pintu ke arah belakang, yang jika dibuka maka terlihatlah halaman belakang yang seingatku tidak pernah 'kujamah. Sepanjang 1998 itu. Orang mengenang tahun itu sebagai awal Reformasi. Aku mengenang TB menertawakan keheroikan Acep yang musnah begitu saja setelah melihat orang Timor Leste, setahun sebelum anakku lahir.
Baru 'kusadari, setelah sekian lama, mandolin dari Nikosia lebih dari satu. Pantaslah seperti ensembel bunyi tremolo pada senar-senarnya. Seperti biasa, mandolin-mandolin ini menjadi penanda akan dimulainya permainan terlarang. Benar-benar aku harus sesering mungkin ke Jalan Radio. Sebuah foto keluarga besar yang terdiri dari Bapak Ibu, anak-anak dan menantu-menantu, lengkap dengan cucu-cucunya memang tinggal kenangan akan suatu khayalan. Yang nyata ada padaku saja khayalan semata. Maka kembalilah aku, seperti biasa, ke desa itu, dari masa kecilku.
Uah, hujan rintik menderas ini memang nyaman membelai jiwa. Semoga badanku yang penat ini pun, atas izin Allah, turut disembuhkannya. Mungin, seperti yang 'kuceritakan pada Dr. Teddy Anggoro tadi, aku harus kembali berjalan kaki. Meski panas di sini, pasti ada waktu-waktu yang tepat untuk melakukannya. Jika tidak sore hari, maka pagi setelah subuh. Tidakkah setiap hari Pak Nyalla mengingatkan untuk sholat dhuha bahkan tahajjud. Membayangkan itu semua saja sudah membuatku merasa mengapung tinggi di angkasa seperti layang-layang si Jampang namanya.
Mungkin bagi Efraim segala mengenaiku menjijikkan, terlebih tulisan-tulisanku di sini. Biarlah. Aku lebih suka begitu. Dari dulu aku memang selalu digilai dan dielu-elukan. Akankah besok aku sanggup mendongengi bocil-bocil mengenai sarana administrasi, entahlah. Aku ingin membawakan anakku uborampe yang dibelikan Bundanya. Anakku memang sudah tidak kecil lagi. Sudah dewasa malah, sudah jauh meninggalkan usia remaja. Anak-anak perempuanku memang sudah gadis-gadis. Tidak ada lagi yang pantas 'kupeluk-peluk dan 'kucium-cium.
Di sini, di sana, di mana-mana, tiap tetes embun, tiap helai daun tahu betapa 'kuingin memeluk, mencium anak-anak perempuanku. 'Kukabarkan saja ini pada angin lalu. Biarlah mereka semua beranjak dewasa dengan doa-doa dan harapan-harapanku. Di usiaku yang masih muda ini, kata sementara orang, aku sudah merasa cukup. Tidak ada lagi yang 'kuinginkan. Jika aku tidak berkesempatan memeluk dan mencium anak-anak perempuanku di hidup yang ini, biarlah itu 'kulakukan di hidup kemudian. Aku tidak ingin bidadari. Aku hanya ingin anak-anakku sayang.
Apakah aku, sebagai bapak, berjalan terlalu cepat. Bisa jadi, semata karena berusaha menghemat uang. Ingin cepat-cepat sampai di rumah juga, karena Lantai 2 Institut Seni, Sains, Teknologi, dan Humaniora aduhai sungguh pembekunya. Aku punya sebuah pertanyaan, begitu saja 'kukatakan pada Ah Hui. Mengapa kau memilih adegan Pandawa Dadu ini untuk ruang kerjamu. Aku tidak tahu ini mengenai apa, tukas Ah Hui. Aku hanya menyukainya karena ia terlihat timbul, seperti tiga dimensi. Memang orang hebat harus sederhana seperti Ah Hui. Tidak seperti aku.
Aku pun, seperti Ah Hui, punya ruang kerja. Parul punyakah. Apa perlu 'kukenang-kenang pada ketika mereka berempat berkeruntelan di tepi Ciliwung, sedang aku di bantaran bertebing yang lebih tinggi. Di kamar mandi ada sebuah pintu ke arah belakang, yang jika dibuka maka terlihatlah halaman belakang yang seingatku tidak pernah 'kujamah. Sepanjang 1998 itu. Orang mengenang tahun itu sebagai awal Reformasi. Aku mengenang TB menertawakan keheroikan Acep yang musnah begitu saja setelah melihat orang Timor Leste, setahun sebelum anakku lahir.
Baru 'kusadari, setelah sekian lama, mandolin dari Nikosia lebih dari satu. Pantaslah seperti ensembel bunyi tremolo pada senar-senarnya. Seperti biasa, mandolin-mandolin ini menjadi penanda akan dimulainya permainan terlarang. Benar-benar aku harus sesering mungkin ke Jalan Radio. Sebuah foto keluarga besar yang terdiri dari Bapak Ibu, anak-anak dan menantu-menantu, lengkap dengan cucu-cucunya memang tinggal kenangan akan suatu khayalan. Yang nyata ada padaku saja khayalan semata. Maka kembalilah aku, seperti biasa, ke desa itu, dari masa kecilku.
Uah, hujan rintik menderas ini memang nyaman membelai jiwa. Semoga badanku yang penat ini pun, atas izin Allah, turut disembuhkannya. Mungin, seperti yang 'kuceritakan pada Dr. Teddy Anggoro tadi, aku harus kembali berjalan kaki. Meski panas di sini, pasti ada waktu-waktu yang tepat untuk melakukannya. Jika tidak sore hari, maka pagi setelah subuh. Tidakkah setiap hari Pak Nyalla mengingatkan untuk sholat dhuha bahkan tahajjud. Membayangkan itu semua saja sudah membuatku merasa mengapung tinggi di angkasa seperti layang-layang si Jampang namanya.
Mungkin bagi Efraim segala mengenaiku menjijikkan, terlebih tulisan-tulisanku di sini. Biarlah. Aku lebih suka begitu. Dari dulu aku memang selalu digilai dan dielu-elukan. Akankah besok aku sanggup mendongengi bocil-bocil mengenai sarana administrasi, entahlah. Aku ingin membawakan anakku uborampe yang dibelikan Bundanya. Anakku memang sudah tidak kecil lagi. Sudah dewasa malah, sudah jauh meninggalkan usia remaja. Anak-anak perempuanku memang sudah gadis-gadis. Tidak ada lagi yang pantas 'kupeluk-peluk dan 'kucium-cium.
Di sini, di sana, di mana-mana, tiap tetes embun, tiap helai daun tahu betapa 'kuingin memeluk, mencium anak-anak perempuanku. 'Kukabarkan saja ini pada angin lalu. Biarlah mereka semua beranjak dewasa dengan doa-doa dan harapan-harapanku. Di usiaku yang masih muda ini, kata sementara orang, aku sudah merasa cukup. Tidak ada lagi yang 'kuinginkan. Jika aku tidak berkesempatan memeluk dan mencium anak-anak perempuanku di hidup yang ini, biarlah itu 'kulakukan di hidup kemudian. Aku tidak ingin bidadari. Aku hanya ingin anak-anakku sayang.