Kau cintaku, kau bidadariku, begitulah 'kubuka entriku malam ini. Betapa 'kunantikan saat ini, berada di sisimu. Uah, suatu ketololan dengan pakaian dinas lapangan sedang terlihat gemuk dan putih, seorang kopral taruna. Begitu berani-beraninya berkumpul bersama kolonel-kolonel iger sak taek. Aku tidak berada ribuan mil jauhnya, aku tepat di sini, di sisimu. Tak terlintas sedikit pun pikiran erotis, bahkan mungkin tidak terlintas apapun, ketika Iglesias saja tahu bahwa aku berada sekitar seribuan kilometer jauhnya. Harus berapa baris 'kubuat di sini entah 'ku tak tahu. Tujuh atau delapan, entahlah.
Semakin 'kupelankan saja volume Vivoku, jauh lebih mudah melakukannya tinimbang Asatron. Ini tidak seperti rumah petakan di bilangan Palakali, meski remang-remangnya, kesejukannya mirip. Seharusnya sejebung besar kopi, Djarum Coklat, Gudang Garam Merah atau sebangsanya. Betapa banyak waktu 'kusia-siakan. Kini saja itu yang 'kulakukan: Menyia-nyiakan waktu. Tidakkah kita hampir memiliki semuanya terdengar seperti di kantor Flight Data Operation di dasar menara pengawas Cengkareng. Nasi kuning bersambal terasi atau Indomie rebus telur, kenangan seorang bocah cilik.
Baru dua alinea saja sudah terasa sedap-sedapnya. Terkadang menulis entri rasanya seperti menyeret pantat trepes ukuran jumbo, terkadang seperti memberondongkan mitraliur. Malam ini tidak seperti keduanya. Tidak memberondong, namun tidak juga menyeret. Cenderung konstan berkeletak-keletik, sedangkan Kapten dan Tenil masih menyanyi bersama, entah di mana Kaptennya. Apakah ini di tepi kebun durian yang akhirnya menjadi kostan Dugem, dengan 486DX2 yang sudah diapgred jadi Pentium oleh Reza "Cule" Zulkarnaen. Membawa pulang komputer senat untuk main CM3 juga pernah.
Tiba-tiba terbetot kembali ke bilangan Karawaci ke arah Legok, Angris, dan Bojong Nangka. Uah, kasihan Adjie harus menjalani masa-masa yang membingungkan. Semoga ia melaluinya penuh dengan cinta. Aku pun, namun aku sendiri pula yang merusaknya. Aku tidak pernah tahu benar apa yang terjadi pada saat itu, namun mungkin memang seharusnya tidak pernah ada yang terjadi. Kurangkah usahaku, jelas kurang. Jelas lebih banyak Takwa misalnya. Aku memang, seperti sudah 'kukatakan di atas tadi, suka membuang-buang waktu, meski jalan di depan Apotik Cimone bisa saja nyaman saat itu.
Seperti sekarang 'kutuliskan namanya: Fika Abu Musa Zein. Entah apa kabarnya. Adakah aku dekat dengannya dulu, entah. 'Kurasa justru lebih dekat dengan Toni "Tompel" Riwanto. Betapa malam ini aku merasa seperti seorang pecundang sejati. Suatu perasaan yang harus segera diakhiri dengan semangat juang. Hahaha, semangat juang 'pala lo tiga! Ya, jika anjing neraka diapgred tentu saja jadi anjing neraka berkepala tiga. Entah berapa tahun lamanya aku bertempur bersama mereka, juga segala musuh lubang, dan sebagainya itu. Tiba-tiba saja aku terlempar kembali ke pavilyun, di pojokan itu, Funai...
Sampoerna King, mengapa kau identik sekali dengan pavilyun. Apa tidak ada yang lain. Berapa malam, 'kurasa sebenarnya tidak banyak. Berapa tulisan, 'kurasa sedikit. Ada juga yang setelah 'kucetak, 'kuberikan kepada Bapak untuk dibaca. Apa perasaan Bapak, pulang kantor, disodori anak laki-laki tertuanya "Kebangsaan Indonesia di Abad ke-21", sedangkan anaknya pengangguran baru ditendang keluar dari Akademi Angkatan Laut gara-gara keple. Apa benar yang 'kumakan sehari-hari pada saat itu, pasti masakan Ibu yang enak-enak, dari sekitar seperempatan abad yang lalu. Ini malah mundur ke Cimone.
Babah David dan 20+ Lagu Cinta Raksasa, apa hubungannya. Dari mana dulu kami dapat kaset itu, entah 'lah. Seandainya kau kembali dalam pelukanku lagi, siapa yang mau kembali. Ia selalu ada sejak saat itu, meski tak berbentuk tak berwajah. Adakah memang dari saat itu ia cantik seperti layaknya perempuan Mandailing meski nakalnya amit-amit, adakah belahan jiwa, 'kurasa aku tak akan pernah tahu. Ini entri asal babat tanpa peduli rata kanan-kiri, apakah lebih baik begini pun aku tidak tahu. Serumpun bugenvil di hadapanku cantik. Tiada harum, namun cantik. Uah, seharusnya 'kubakar dupa dari tadi.
Semakin 'kupelankan saja volume Vivoku, jauh lebih mudah melakukannya tinimbang Asatron. Ini tidak seperti rumah petakan di bilangan Palakali, meski remang-remangnya, kesejukannya mirip. Seharusnya sejebung besar kopi, Djarum Coklat, Gudang Garam Merah atau sebangsanya. Betapa banyak waktu 'kusia-siakan. Kini saja itu yang 'kulakukan: Menyia-nyiakan waktu. Tidakkah kita hampir memiliki semuanya terdengar seperti di kantor Flight Data Operation di dasar menara pengawas Cengkareng. Nasi kuning bersambal terasi atau Indomie rebus telur, kenangan seorang bocah cilik.
Baru dua alinea saja sudah terasa sedap-sedapnya. Terkadang menulis entri rasanya seperti menyeret pantat trepes ukuran jumbo, terkadang seperti memberondongkan mitraliur. Malam ini tidak seperti keduanya. Tidak memberondong, namun tidak juga menyeret. Cenderung konstan berkeletak-keletik, sedangkan Kapten dan Tenil masih menyanyi bersama, entah di mana Kaptennya. Apakah ini di tepi kebun durian yang akhirnya menjadi kostan Dugem, dengan 486DX2 yang sudah diapgred jadi Pentium oleh Reza "Cule" Zulkarnaen. Membawa pulang komputer senat untuk main CM3 juga pernah.
Tiba-tiba terbetot kembali ke bilangan Karawaci ke arah Legok, Angris, dan Bojong Nangka. Uah, kasihan Adjie harus menjalani masa-masa yang membingungkan. Semoga ia melaluinya penuh dengan cinta. Aku pun, namun aku sendiri pula yang merusaknya. Aku tidak pernah tahu benar apa yang terjadi pada saat itu, namun mungkin memang seharusnya tidak pernah ada yang terjadi. Kurangkah usahaku, jelas kurang. Jelas lebih banyak Takwa misalnya. Aku memang, seperti sudah 'kukatakan di atas tadi, suka membuang-buang waktu, meski jalan di depan Apotik Cimone bisa saja nyaman saat itu.
Seperti sekarang 'kutuliskan namanya: Fika Abu Musa Zein. Entah apa kabarnya. Adakah aku dekat dengannya dulu, entah. 'Kurasa justru lebih dekat dengan Toni "Tompel" Riwanto. Betapa malam ini aku merasa seperti seorang pecundang sejati. Suatu perasaan yang harus segera diakhiri dengan semangat juang. Hahaha, semangat juang 'pala lo tiga! Ya, jika anjing neraka diapgred tentu saja jadi anjing neraka berkepala tiga. Entah berapa tahun lamanya aku bertempur bersama mereka, juga segala musuh lubang, dan sebagainya itu. Tiba-tiba saja aku terlempar kembali ke pavilyun, di pojokan itu, Funai...
Sampoerna King, mengapa kau identik sekali dengan pavilyun. Apa tidak ada yang lain. Berapa malam, 'kurasa sebenarnya tidak banyak. Berapa tulisan, 'kurasa sedikit. Ada juga yang setelah 'kucetak, 'kuberikan kepada Bapak untuk dibaca. Apa perasaan Bapak, pulang kantor, disodori anak laki-laki tertuanya "Kebangsaan Indonesia di Abad ke-21", sedangkan anaknya pengangguran baru ditendang keluar dari Akademi Angkatan Laut gara-gara keple. Apa benar yang 'kumakan sehari-hari pada saat itu, pasti masakan Ibu yang enak-enak, dari sekitar seperempatan abad yang lalu. Ini malah mundur ke Cimone.
Babah David dan 20+ Lagu Cinta Raksasa, apa hubungannya. Dari mana dulu kami dapat kaset itu, entah 'lah. Seandainya kau kembali dalam pelukanku lagi, siapa yang mau kembali. Ia selalu ada sejak saat itu, meski tak berbentuk tak berwajah. Adakah memang dari saat itu ia cantik seperti layaknya perempuan Mandailing meski nakalnya amit-amit, adakah belahan jiwa, 'kurasa aku tak akan pernah tahu. Ini entri asal babat tanpa peduli rata kanan-kiri, apakah lebih baik begini pun aku tidak tahu. Serumpun bugenvil di hadapanku cantik. Tiada harum, namun cantik. Uah, seharusnya 'kubakar dupa dari tadi.