Membuka pengolah kata bukan untuk berjuang juga tiada mengapa, terlebih ketika engkau habis menyeruput habis susu manis dingin rasa beribiru. Terlebih ketika seulas awan menyaput bulan dari tiga puluh tujuh tahun yang lalu. Sudah lewat sebelas menit dari pukul sepuluh malam. Bisa saja aku baru melangkah menuju kampus, entah dengan sebungkus Djarum Super atau Star Mild Menthol. Pada saat itu aku lebih langsing sepuluh kilo dari sekarang. Dalam waktu-waktu setelahnya aku bahkan masih bisa lebih langsing dua puluhan kilo dari itu, waktu-waktu.
Aku tidak mau mengingat-ingat, namun aku suka kerampakannya. Kalaupun harus kuingat, maka biarlah mesin ketik itu, yang menyanding sebaskom kopi dan seslof Bentoel biru. Habis dalam semalam. Kubiarkan diriku melakukan semua ketololan itu, ketika kawan-kawan sebayaku merintis hidup mereka sebagai orang dewasa yang bertanggung-jawab. Aku mengetik rampak begini, untuk kufotokopi besok di tempat Santiago ketika masih Santo. Rangkap dua sekali, satu untuk arsip, satu kukirim ke Kompas. Dibalas selalu memang, selalu begitu balasannya. Maafkan aku.
Kesukaanku gula-gula Jawa. Justru karena itu terasa harumnya, kayu manis, meski tak mungkin kusebut. Semua ada di ujung lidahku, di tengah-tengahnya kukulum-kulum. Aduhai masih terasa semuanya. Justru itu yang kusuka. Maka aku pulang saja. Ke mana. Ke Mess Pemuda bekas kamar Joyada yang tidak lama kutinggalkan. Aku masih ingat kengeriannya. Aku pulang lagi ke Jalan Radio. Naik taksi, aduhai betapa menyiksa. Dilepas begitu saja oleh Jamal Gani. Aku mampir ke Klinik 24 Jam, pulang ke kamar belakang garasi menunggu reda. Aku masih muda.
Akan halnya pagi-pagi begini aku menghadapi masa lalu, sepulangnya dari warung nasi entah apa namanya, depan PLN dekat kecamatan. Suami istri ribut saja bertanya mengenai asal, sampai kutahu pernah lama di Palembang karena ikut mantan. Sungguh menjengkelkan. Jambi, pempek, gabus, Bumiayu, Brebes adalah beberapa yang sempat disebut. Lantas Bert dan Ernie, buat apa kubahas mereka. Aku bahkan mendapati diriku bersemangat ingin bercerita mengenai keberlanjutan kepada bocah-bocah. Apa Bert dan Ernie berminat mendengarkannya. Kurasa tidak mungkin.
Setelah cinta hilang memang tidak pernah menghilang dariku, karena aku memang terlahir pecinta. Dapat saja kucintai apapun, termasuk kucing betina bungkik yang salah satu kaki belakangnya putus. Tertatih-tatih menyeberang Kemakmuran, sementara seorang bapak menghentikan mobilnya cukup lama untuk membiarkannya sampai di seberang. Menyeberang Meuse, sementara itu, jauh lebih mudah dibanding Ij, tinggal pilih lewat jembatan Wilhelmina atau Santo Servatius. Menyeberang Ij harus naik feri, meski gratis; semua gara-gara Jeng Arum.
Ini teh hitam jahe kunyit apa, tidak terasa jahe, kunyit, bahkan tehnya. Aku jadi rindu pada teh-teh berempahku, meski terakhir yang kubeli itu-itu saja. Bahkan Stella rasa lemon pun kuhisap-hisap saking gabutnya. Pedes-pedes gimana gitu. Sempat terlintas lapangan badminton di samping hanggar Mandala, di depan rumahnya Oom Bowo, Pak Kartono, Pak Sujud, siapa lagi. Pak Tono, Pak Barjo, Pak Kanto, Oom Pendi, rumah manis rumah. Betapa nyamannya tempat tidur tingkat yang sudah entah di mana sekarang. Kasurnya kapuk. Bahkan ada sarung-sarung dinginnya.
Tidak ada lagi yang ada di situ, bahkan Dek Ipuk yang terakhir lahir di situ saja sudah tidak di situ. Memang sudah tidak ada. Tinggal kenyamanannya saja yang dapat kuhadirkan kapanpun aku membutuhkannya. Apakah itu di pagi hari, siang, sore, maupun malam menjelang tidur. Selalu saja nyaman. Bahkan Adjie saja tidak di situ lagi. Terakhir kali aku di situ umur delapan hampir sembilan. Apanya yang nyaman dari kulkas yang sampingnya belepotan catnya, karena entah Bapak terpeleset terpegang ketika masih basah. Entah tidak ingat isinya.
Aku tidak mau mengingat-ingat, namun aku suka kerampakannya. Kalaupun harus kuingat, maka biarlah mesin ketik itu, yang menyanding sebaskom kopi dan seslof Bentoel biru. Habis dalam semalam. Kubiarkan diriku melakukan semua ketololan itu, ketika kawan-kawan sebayaku merintis hidup mereka sebagai orang dewasa yang bertanggung-jawab. Aku mengetik rampak begini, untuk kufotokopi besok di tempat Santiago ketika masih Santo. Rangkap dua sekali, satu untuk arsip, satu kukirim ke Kompas. Dibalas selalu memang, selalu begitu balasannya. Maafkan aku.
Kesukaanku gula-gula Jawa. Justru karena itu terasa harumnya, kayu manis, meski tak mungkin kusebut. Semua ada di ujung lidahku, di tengah-tengahnya kukulum-kulum. Aduhai masih terasa semuanya. Justru itu yang kusuka. Maka aku pulang saja. Ke mana. Ke Mess Pemuda bekas kamar Joyada yang tidak lama kutinggalkan. Aku masih ingat kengeriannya. Aku pulang lagi ke Jalan Radio. Naik taksi, aduhai betapa menyiksa. Dilepas begitu saja oleh Jamal Gani. Aku mampir ke Klinik 24 Jam, pulang ke kamar belakang garasi menunggu reda. Aku masih muda.
Akan halnya pagi-pagi begini aku menghadapi masa lalu, sepulangnya dari warung nasi entah apa namanya, depan PLN dekat kecamatan. Suami istri ribut saja bertanya mengenai asal, sampai kutahu pernah lama di Palembang karena ikut mantan. Sungguh menjengkelkan. Jambi, pempek, gabus, Bumiayu, Brebes adalah beberapa yang sempat disebut. Lantas Bert dan Ernie, buat apa kubahas mereka. Aku bahkan mendapati diriku bersemangat ingin bercerita mengenai keberlanjutan kepada bocah-bocah. Apa Bert dan Ernie berminat mendengarkannya. Kurasa tidak mungkin.
Setelah cinta hilang memang tidak pernah menghilang dariku, karena aku memang terlahir pecinta. Dapat saja kucintai apapun, termasuk kucing betina bungkik yang salah satu kaki belakangnya putus. Tertatih-tatih menyeberang Kemakmuran, sementara seorang bapak menghentikan mobilnya cukup lama untuk membiarkannya sampai di seberang. Menyeberang Meuse, sementara itu, jauh lebih mudah dibanding Ij, tinggal pilih lewat jembatan Wilhelmina atau Santo Servatius. Menyeberang Ij harus naik feri, meski gratis; semua gara-gara Jeng Arum.
Ini teh hitam jahe kunyit apa, tidak terasa jahe, kunyit, bahkan tehnya. Aku jadi rindu pada teh-teh berempahku, meski terakhir yang kubeli itu-itu saja. Bahkan Stella rasa lemon pun kuhisap-hisap saking gabutnya. Pedes-pedes gimana gitu. Sempat terlintas lapangan badminton di samping hanggar Mandala, di depan rumahnya Oom Bowo, Pak Kartono, Pak Sujud, siapa lagi. Pak Tono, Pak Barjo, Pak Kanto, Oom Pendi, rumah manis rumah. Betapa nyamannya tempat tidur tingkat yang sudah entah di mana sekarang. Kasurnya kapuk. Bahkan ada sarung-sarung dinginnya.
Tidak ada lagi yang ada di situ, bahkan Dek Ipuk yang terakhir lahir di situ saja sudah tidak di situ. Memang sudah tidak ada. Tinggal kenyamanannya saja yang dapat kuhadirkan kapanpun aku membutuhkannya. Apakah itu di pagi hari, siang, sore, maupun malam menjelang tidur. Selalu saja nyaman. Bahkan Adjie saja tidak di situ lagi. Terakhir kali aku di situ umur delapan hampir sembilan. Apanya yang nyaman dari kulkas yang sampingnya belepotan catnya, karena entah Bapak terpeleset terpegang ketika masih basah. Entah tidak ingat isinya.