Setengah sembilan pagi di pojokanku. Matahari mengintip manja dari sela-sela lobang angin, menembus tirai bambu yang 'kugulung sedikit. Setelah semug kecil jahe merah berkepala gula, aku masih menambah lagi kopi susu jahe yang manisnya bukan buatan. Itu pun setelah sarapan nasi kuning lengkap dengan mie goreng dan kering tempenya sekali, bertabur kerupuk bawang dan bawang goreng, masih berlaukkan telur dadar penuh bersimbah minyak, bahkan tahu pedas. Di tentangku, mana di mana anak kambing saya yang sudah bandot menikmati nasi uduk bulu-ayam ali-4a.
Itu pun masih ditingkahi gorengan. Ada bala-bala, tahu brontak, tempe kemul, risol bihun, masing-masing dua. Masih lengkap dengan sambel kacangnya sekali. Aku belum mengecek apakah dalam kantung plastiknya ada cengek. Semua ini kurang dari EUR 5! Apa yang bisa 'kudapat dengan uang segitu. Kapsalon porsi paling kecil saja sudah tidak dapat. Sushi-sushian mungkin masih dapat, namun rasanya aduhai menggelitik perut. Ini hanya sekelumit perbandingan kehidupanku sebelum dan sesudah Gadat mencetak Gol di malam yang menentukan itu, ribuan mil di udara.
Sebulan setelah itu begitu banyak yang telah terjadi, dan tiada yang lebih menjengkelkan daripada entri tak selesai terbengkalai. [emang iya?] Di titik ini, sudah tiada padaku minat untuk bertutur, jangankan mengenai betapa Gadat mencetak Gol, apa yang terjadi sepanjang Mei saja malas 'kurekapitulasi. Namun sudah menjadi kodrat entri untuk diselesaikan dan ditayangkan, maka inilah aku berusaha melakukan tepat itu. Biarlah angan melayang ke sisi utara gedung yang sekarang menjadi Informa, dahulu ada Hero-nya, ketika 'kutenggak habis sekotak susu coklat dingin.
Jikapun 'kucatat sedikit mengenai steikesyen, itu karena kekagumanku pada kehidupan dan kegaguanku menjalaninya. Bukan benar karena sarapan yang dicatu, bukan terlebih Kota Bandungnya itu sendiri yang dua harian itu memang terasa agak lebih sejuk ketimbang Kotaku Depok. Bukan karena itu semua. Jika aku ingin mengenangkan kehidupan, ke situlah benak 'kuarahkan. Tidak sampai semangat atau bagaimana. Hanya saja kehidupan selalu membuatku tersenyum-senyum dikulum dalam hati. Tentu saja, seperti segala sesuatu, 'kusyukuri. 'Kurayakan, tunggu dulu...
Tidak pernah 'kurasakan dalam hidupku yang ini merekahnya kehidupan. Kehidupan dikeremus, diuwel-uwel tepat di hadapan batang hidungku. Jika 'kuingat-ingat mengenai kehidupan, yang terasa hanya pedihnya luka dalam yang tak kunjung kering. Saat ini bahkan aku tidak punya cukup tenaga batin untuk menyalahkan diriku sendiri seperti biasa. Apapun adaku seakan tiada arti, bagai lolongan anjing di malam hari. Kenistaannya sepadan dengan basah lembabnya lantai kamar mandi yang tiada terlalu bersih. Entah berapa kamar mandi, harum atau bau tai.
Aku nirguna katamu, 'Gar?! Bukan afirmasi maupun negasi yang akan 'kaudapat, melainkan asfiksasi. Membayangkannya saja sudah bergidik, tercekik di jalan lahir. Aku tidak suka bahkan jika sekadar terlintas dalam benak. Hanya tai yang pantas dibrojolkan di kloset jongkok agak bersih. Selain itu jangan, karena itulah kehidupan. Kehidupan, meski sudah rusak parah, sudah tidak bisa dibetulkan lagi, tidak sepantasnya diflush di totet. Lantas diapakan. Dijalani. Disabari. Disenyumi. Senyum kehidupan menyejukkan, apalagi derai renyah tawa. Selalu seperti itu terdengarnya.
Maka sampailah 'ku di sini. Tinggal beberapa ayun lagi maka usailah. Kehidupan akan terus saja seperti itu, tidak peduli aku berseragam putih merah, putih biru, putih abu-abu, coklat coklat, bahkan telanjang sekalipun. Tidak masalah apakah celana dalam tidak dilepas dahulu, baru kemudian, atau ditingkahi Tersesat dalam Cinta. Aku membawa kebusukan ke mana-mana, setengah bangkai bernanah ini, tai-tai ini. Tidak berguna katamu, 'Gar?! Aku pun tidak tahu. Semua kemesuman ini selalu mengingatkan siapa diriku: Setengah bangkai bernanah bertai-tai.
Itu pun masih ditingkahi gorengan. Ada bala-bala, tahu brontak, tempe kemul, risol bihun, masing-masing dua. Masih lengkap dengan sambel kacangnya sekali. Aku belum mengecek apakah dalam kantung plastiknya ada cengek. Semua ini kurang dari EUR 5! Apa yang bisa 'kudapat dengan uang segitu. Kapsalon porsi paling kecil saja sudah tidak dapat. Sushi-sushian mungkin masih dapat, namun rasanya aduhai menggelitik perut. Ini hanya sekelumit perbandingan kehidupanku sebelum dan sesudah Gadat mencetak Gol di malam yang menentukan itu, ribuan mil di udara.
Sebulan setelah itu begitu banyak yang telah terjadi, dan tiada yang lebih menjengkelkan daripada entri tak selesai terbengkalai. [emang iya?] Di titik ini, sudah tiada padaku minat untuk bertutur, jangankan mengenai betapa Gadat mencetak Gol, apa yang terjadi sepanjang Mei saja malas 'kurekapitulasi. Namun sudah menjadi kodrat entri untuk diselesaikan dan ditayangkan, maka inilah aku berusaha melakukan tepat itu. Biarlah angan melayang ke sisi utara gedung yang sekarang menjadi Informa, dahulu ada Hero-nya, ketika 'kutenggak habis sekotak susu coklat dingin.
Jikapun 'kucatat sedikit mengenai steikesyen, itu karena kekagumanku pada kehidupan dan kegaguanku menjalaninya. Bukan benar karena sarapan yang dicatu, bukan terlebih Kota Bandungnya itu sendiri yang dua harian itu memang terasa agak lebih sejuk ketimbang Kotaku Depok. Bukan karena itu semua. Jika aku ingin mengenangkan kehidupan, ke situlah benak 'kuarahkan. Tidak sampai semangat atau bagaimana. Hanya saja kehidupan selalu membuatku tersenyum-senyum dikulum dalam hati. Tentu saja, seperti segala sesuatu, 'kusyukuri. 'Kurayakan, tunggu dulu...
Tidak pernah 'kurasakan dalam hidupku yang ini merekahnya kehidupan. Kehidupan dikeremus, diuwel-uwel tepat di hadapan batang hidungku. Jika 'kuingat-ingat mengenai kehidupan, yang terasa hanya pedihnya luka dalam yang tak kunjung kering. Saat ini bahkan aku tidak punya cukup tenaga batin untuk menyalahkan diriku sendiri seperti biasa. Apapun adaku seakan tiada arti, bagai lolongan anjing di malam hari. Kenistaannya sepadan dengan basah lembabnya lantai kamar mandi yang tiada terlalu bersih. Entah berapa kamar mandi, harum atau bau tai.
Aku nirguna katamu, 'Gar?! Bukan afirmasi maupun negasi yang akan 'kaudapat, melainkan asfiksasi. Membayangkannya saja sudah bergidik, tercekik di jalan lahir. Aku tidak suka bahkan jika sekadar terlintas dalam benak. Hanya tai yang pantas dibrojolkan di kloset jongkok agak bersih. Selain itu jangan, karena itulah kehidupan. Kehidupan, meski sudah rusak parah, sudah tidak bisa dibetulkan lagi, tidak sepantasnya diflush di totet. Lantas diapakan. Dijalani. Disabari. Disenyumi. Senyum kehidupan menyejukkan, apalagi derai renyah tawa. Selalu seperti itu terdengarnya.
Maka sampailah 'ku di sini. Tinggal beberapa ayun lagi maka usailah. Kehidupan akan terus saja seperti itu, tidak peduli aku berseragam putih merah, putih biru, putih abu-abu, coklat coklat, bahkan telanjang sekalipun. Tidak masalah apakah celana dalam tidak dilepas dahulu, baru kemudian, atau ditingkahi Tersesat dalam Cinta. Aku membawa kebusukan ke mana-mana, setengah bangkai bernanah ini, tai-tai ini. Tidak berguna katamu, 'Gar?! Aku pun tidak tahu. Semua kemesuman ini selalu mengingatkan siapa diriku: Setengah bangkai bernanah bertai-tai.