Blogger mengganti editor teksnya, maka ‘kukembali pada teknik lama. Tujuh lima tujuh kali sampai lima dua lima. Aku sudah tua. Mataku sudah rabun dekat. Lantas mengapa masih menulis-nulis begini. Masih tidak pakai tanda tanya. Masih menyumpal telinga dengan Jantung-jantung Amerika, dari sekitar tiga puluh lima tahun lalu. Lantas Peluang-peluang, di sore bermendung begini, Agustus di Negeri Kincir Angin. Ahaha, ‘kurasa baru sekali ini ‘ku mengatakannya. Ini bukan sesuatu untuk disedihkan, dan kau belum cukup tua.
Apa semata agar-agar Juli ada entrinya. Tidak menjadi apa, ketika telinga dibuai oleh kenangan masa kecil yang demikian indah. Kenangan yang menyedihkan Jongdae, menyamankan Hansol. Berjemur bersama ketika suhu cukup dinginnya. ‘Kutaksir di bawah sepeluh derajat celsius. Masa kecil Hansol, masaku awal sebagai seorang dewasa. Mungkin pernah berpapasan dengan Togar kecil ketika aku mencuri rokok atau bahkan scrabble. Kini anakku berminat pada isu perempuan dan anak. Anakku, bahkan malam-malam menjadi lebih baik semenjak bertemu denganmu.
Hidupku. Hidupanku hidupan-liar. Lingkungan hidupku, kau belum boleh gila. Belum boleh ndleming. Harus bermakna. Harus efisien. Keindahan-keindahan yang entah bagaimana mengingatkanku pada flight data operation atau entah apa namanya. Ada juga Semalam Lagi bersama Phil Collins. Oom Novi sudah duluan tiada. Bapaknya Gus Dut juga. Semakin kuat alasan untuk tidak gila, tidak ndleming. Bermakna lagi efisien. Takkan ‘kubiarkan diriku termangu di emperan, di trotoar. Lusuh dan compang-camping. Aku gagah berbatik, berwibawa, bahkan mungkin bersetelan berdasi.
Terlebih dengan ini. Aku gagah melirik. Berkaos bercelana dril kelabu terang, bersepatu kulit mengilap. Tiada sangkaku pada saat itu mengenai masa depan. Tiada pernah kusangka begini jadinya aku. Duduk melorot menghadapi laptop menulis-nulis entah apa di sebuah kamar di bilangan Uilenstede, Amstelveen. Setelah setua ini, apa yang masih dapat ‘kulakukan. Nikmatilah ketakberdayaanmu, ‘Gar, selagi ada. Di situlah terletak perih-perih nikmatnya, seperti mengelupasi keropeng penutup koreng pada pinggir-pinggirnya. Bapak Ibu kita sumber segala kenyamanan beranjak tua.
Dengan cara yang sama akan ‘kusapa juga Eryandon. Mengapa yang dua ini, karena mereka suka menulisi untukku. Semacam surat begitu. Anak-anak cerdas ini. Bagaimana cara kalian menata langkah. Usahakan sebaik mungkin, ya. Jangan percaya kata orang mengenai belajar dari pengalaman sendiri. Belajarlah dari pengalaman orang lain! Belajar dariku yang malas dan lemah-kema[l]uan ini! Di sinilah aku, bermain dengan kenangan-kenangan itu lagi. Penyesalan selalu datang belakangan, karena kalau duluan itu namanya pendaftaran. Ingat-ingat selalu, ‘Gar, ‘nDon!
Aku tidak kesepian, karena memang sudah biasa. Aku malah cenderung menyukainya, bersepi-sepi. Namun, di sore bermendung ini, terpisah jarak dua belas ribuan kilometer, ‘kusapa juga konblok-konblok di muka FHUI kampus Depok. Tidak yang Salemba, karena jauh. Malas harus naik KRL segala. Cukup Depok saja, dari sebayaku, adik-adikku yang terus memuda, sampai anak-anakku. Si Tolol ini masih saja menulisi. Berawal dari ketika adik bungsunya mulai duduk di bangku kuliah. Dibantu Bang Ded menyemir hitam sepatu putih.
Apa masih ada waktu bagi kita melakukan sesuatu bagi kebaikan Bangsa dan Negara ini. Jangan buang-buang waktu, ‘nDon, segera lanjutkan sekolah. Aku tidak tahu apakah ada gunanya bagimu, masa depanmu. Semua, Conrad dan Efraim juga, sekolah’lah. Mana tahu HR Purnama akan segera membutuhkanmu. Mazhab Depok sudah berseru-seru memanggilmu. Sudah terlalu lama ia menunggu. Malu sama anak Undip yang selalu [merasa] progresif. Masih jauh lebih baik mereka daripada kita. Tidak ada apa-apa. Justru semakin merosot saja.
Apa semata agar-agar Juli ada entrinya. Tidak menjadi apa, ketika telinga dibuai oleh kenangan masa kecil yang demikian indah. Kenangan yang menyedihkan Jongdae, menyamankan Hansol. Berjemur bersama ketika suhu cukup dinginnya. ‘Kutaksir di bawah sepeluh derajat celsius. Masa kecil Hansol, masaku awal sebagai seorang dewasa. Mungkin pernah berpapasan dengan Togar kecil ketika aku mencuri rokok atau bahkan scrabble. Kini anakku berminat pada isu perempuan dan anak. Anakku, bahkan malam-malam menjadi lebih baik semenjak bertemu denganmu.
Hidupku. Hidupanku hidupan-liar. Lingkungan hidupku, kau belum boleh gila. Belum boleh ndleming. Harus bermakna. Harus efisien. Keindahan-keindahan yang entah bagaimana mengingatkanku pada flight data operation atau entah apa namanya. Ada juga Semalam Lagi bersama Phil Collins. Oom Novi sudah duluan tiada. Bapaknya Gus Dut juga. Semakin kuat alasan untuk tidak gila, tidak ndleming. Bermakna lagi efisien. Takkan ‘kubiarkan diriku termangu di emperan, di trotoar. Lusuh dan compang-camping. Aku gagah berbatik, berwibawa, bahkan mungkin bersetelan berdasi.
Terlebih dengan ini. Aku gagah melirik. Berkaos bercelana dril kelabu terang, bersepatu kulit mengilap. Tiada sangkaku pada saat itu mengenai masa depan. Tiada pernah kusangka begini jadinya aku. Duduk melorot menghadapi laptop menulis-nulis entah apa di sebuah kamar di bilangan Uilenstede, Amstelveen. Setelah setua ini, apa yang masih dapat ‘kulakukan. Nikmatilah ketakberdayaanmu, ‘Gar, selagi ada. Di situlah terletak perih-perih nikmatnya, seperti mengelupasi keropeng penutup koreng pada pinggir-pinggirnya. Bapak Ibu kita sumber segala kenyamanan beranjak tua.
Dengan cara yang sama akan ‘kusapa juga Eryandon. Mengapa yang dua ini, karena mereka suka menulisi untukku. Semacam surat begitu. Anak-anak cerdas ini. Bagaimana cara kalian menata langkah. Usahakan sebaik mungkin, ya. Jangan percaya kata orang mengenai belajar dari pengalaman sendiri. Belajarlah dari pengalaman orang lain! Belajar dariku yang malas dan lemah-kema[l]uan ini! Di sinilah aku, bermain dengan kenangan-kenangan itu lagi. Penyesalan selalu datang belakangan, karena kalau duluan itu namanya pendaftaran. Ingat-ingat selalu, ‘Gar, ‘nDon!
Aku tidak kesepian, karena memang sudah biasa. Aku malah cenderung menyukainya, bersepi-sepi. Namun, di sore bermendung ini, terpisah jarak dua belas ribuan kilometer, ‘kusapa juga konblok-konblok di muka FHUI kampus Depok. Tidak yang Salemba, karena jauh. Malas harus naik KRL segala. Cukup Depok saja, dari sebayaku, adik-adikku yang terus memuda, sampai anak-anakku. Si Tolol ini masih saja menulisi. Berawal dari ketika adik bungsunya mulai duduk di bangku kuliah. Dibantu Bang Ded menyemir hitam sepatu putih.
Apa masih ada waktu bagi kita melakukan sesuatu bagi kebaikan Bangsa dan Negara ini. Jangan buang-buang waktu, ‘nDon, segera lanjutkan sekolah. Aku tidak tahu apakah ada gunanya bagimu, masa depanmu. Semua, Conrad dan Efraim juga, sekolah’lah. Mana tahu HR Purnama akan segera membutuhkanmu. Mazhab Depok sudah berseru-seru memanggilmu. Sudah terlalu lama ia menunggu. Malu sama anak Undip yang selalu [merasa] progresif. Masih jauh lebih baik mereka daripada kita. Tidak ada apa-apa. Justru semakin merosot saja.