Tidak ada. Hanya saja jika bicara mengenai amril pop, yang selalu kuingat adalah ceritanya TB Nazmudin Sutawinangun. Jika tidak salah, begini ceritanya. Adiknya TB, Reni, [mungkin namanya Ratu Anggraeni] satu kost-an dengan adiknya Dwi "Popo" Cahyadi di Bandung. Nah, aku lupa mana di antara mereka yang berbuah dada besar. Yang jelas, salah satunya yang berbuah dada kurang besar nge-prank yang berbuah dada besar, entah dengan menyumpal dadanya dengan entah apa agar terlihat besar, dan ketika yang berbuah dada besar datang maka ia menunjukkan buah dada sumpalannya sambil berkata: "Amril pop! Amril pop!" Demikianlah.
Sungguh mati 'ku 'tak tahu mengapa yang begini yang kuingat. Apakah karena aku tidak pernah menyimpang, entahlah. Yang jelas, masih kuingat tawa Ah Hui yang khas menyambut kisah sahabat baiknya ini. Dari kami berlima, memang Ah Hui dan TB paling dekat, sedang aku, Parul dan Acep lebih banyak jalan sendiri-sendiri. Demikian ini terkadang kami membuka atau menutup simposium kami, Law Syndicate of Students' Dormitory. (LSD) Adakah kusesali apa yang telah terjadi. Jika pun ada, itu adalah kekhawatiran yang kusebabkan pada Bapak dan Ibu. Selebihnya entahlah.
Kalau Alrile Pov lain lagi. Ini adalah beranda rumah dinas almarhum Oom Dokter Budi Budaya selaku Wakil Kepala Rumah Sakit Jiwa Pusat Secang, Magelang. Senjakala baru saja turun. Udara sudah terasa semakin sejuk. Aku dan Adik bermain gitar sambil bernyanyi, terkadang kurasa saling bercerita. Aduhai, ini kenangan betapa sedihnya, sampai-sampai hampir kutulis doaku di sini. Demikianlah masa-masa muda remaja. Penuh harapan, penuh keluguan, kepolosan. Kemurnian. Pernahkah kusangka jika hidupku akan begini duapuluh delapan tahun kemudian. Tentu tidak.
Lebih baik kini 'ku berkisah mengenai keadaanku kini. Mengetiki di akhir hari setelah ngobrol sok-sok'an mengenai mati dengan Hadi. Aku. Agustus ini Insya Allah empatpuluh empat tahun usiaku. Aku sudah seumur Bapak ketika aku dan Adik main gitar di beranda rumah Secang itu! Satu-satunya prestasiku adalah, anakku Kin sudah semester empat kuliah sekarang, sedang dahulu aku masih kelas tiga es-em-a. Sekarang aku sekadar menjalani hari-hariku, dari bangun tidur ke tidur lagi. Tidak. Aku tidak sanggup berkisah. Apalagi mengenai hal ini. Halku sendiri, 'tak sanggup.
Pada titik ini aku merasa siap meracau lagi, seandainya saja aku tidak lantas teringat Cantik. Betapatah takkan 'ku ingat ia. Hidupku hanya dari satu panggilan audio atau video dengannya ke panggilan yang berikutnya. Begitu saja terus. Apa aku masih punya harapan, cita-cita. Apakah harus diwujudkan itu harapan beasiswa pemimpin masa depan yang pernah diterimanya, sebagaimana aku pun pernah bersekolah di sekolah calon pemimpin bangsa. Tidak! Tegas 'kukatakan: Tidak! Bukan karena itu semua. Semata-mata karena aku anak tertua Bapak dan Ibu. Sudah begitu.
Sungguh ingin 'kuakhiri ini semua di sini, ketika menengok ke belakang, melampaui bahu terbentur wajah anak-anak perempuanku Kin dan Khaira. Masya Allah cantik-cantik mereka. Lalu ada kambing. Kau jangan sedih 'ku sebut kambing. Aku selalu berdoa suatu hari nanti kau menjadi seekor kambing jantan dengan caramu sendiri. Sungguh, seandainya kau anak biologisku, kau pun akan tetap 'ku sebut begitu. Apapun yang terjadi aku 'kan selalu berpegang bahwa anak lelaki tak ubahnya besi babi, harus ditempa menjadi sebilah pedang! Ini berlaku pula bagi para kemenakan!
"Begitulah cara Bapak menyayangimu. Hei, Bapak jauh lebih baik dari Akung. Mana pernah Akung mendekap Bapak jika Bapak merasa sedih, meski kamu agak lebih sering bersedih hati dibanding Bapak. Tidak, bukan Akung kurang sayang pada Bapak. Hanya saja ia memang sok-sok'an macho. Mungkin pengaruh Uti juga. Itulah tekad Bapak dulu. Tidak ada yang kurang. Semua gebugan, semua sabetan, lengkap harus ada. Hanya saja ditambah dekapan, pelukan seperlunya. Bapak harap kamu segera mengerti sebelum terlambat. Kamu harus lebih baik dari Bapak."
Sungguh mati 'ku 'tak tahu mengapa yang begini yang kuingat. Apakah karena aku tidak pernah menyimpang, entahlah. Yang jelas, masih kuingat tawa Ah Hui yang khas menyambut kisah sahabat baiknya ini. Dari kami berlima, memang Ah Hui dan TB paling dekat, sedang aku, Parul dan Acep lebih banyak jalan sendiri-sendiri. Demikian ini terkadang kami membuka atau menutup simposium kami, Law Syndicate of Students' Dormitory. (LSD) Adakah kusesali apa yang telah terjadi. Jika pun ada, itu adalah kekhawatiran yang kusebabkan pada Bapak dan Ibu. Selebihnya entahlah.
Kalau Alrile Pov lain lagi. Ini adalah beranda rumah dinas almarhum Oom Dokter Budi Budaya selaku Wakil Kepala Rumah Sakit Jiwa Pusat Secang, Magelang. Senjakala baru saja turun. Udara sudah terasa semakin sejuk. Aku dan Adik bermain gitar sambil bernyanyi, terkadang kurasa saling bercerita. Aduhai, ini kenangan betapa sedihnya, sampai-sampai hampir kutulis doaku di sini. Demikianlah masa-masa muda remaja. Penuh harapan, penuh keluguan, kepolosan. Kemurnian. Pernahkah kusangka jika hidupku akan begini duapuluh delapan tahun kemudian. Tentu tidak.
Lebih baik kini 'ku berkisah mengenai keadaanku kini. Mengetiki di akhir hari setelah ngobrol sok-sok'an mengenai mati dengan Hadi. Aku. Agustus ini Insya Allah empatpuluh empat tahun usiaku. Aku sudah seumur Bapak ketika aku dan Adik main gitar di beranda rumah Secang itu! Satu-satunya prestasiku adalah, anakku Kin sudah semester empat kuliah sekarang, sedang dahulu aku masih kelas tiga es-em-a. Sekarang aku sekadar menjalani hari-hariku, dari bangun tidur ke tidur lagi. Tidak. Aku tidak sanggup berkisah. Apalagi mengenai hal ini. Halku sendiri, 'tak sanggup.
Pada titik ini aku merasa siap meracau lagi, seandainya saja aku tidak lantas teringat Cantik. Betapatah takkan 'ku ingat ia. Hidupku hanya dari satu panggilan audio atau video dengannya ke panggilan yang berikutnya. Begitu saja terus. Apa aku masih punya harapan, cita-cita. Apakah harus diwujudkan itu harapan beasiswa pemimpin masa depan yang pernah diterimanya, sebagaimana aku pun pernah bersekolah di sekolah calon pemimpin bangsa. Tidak! Tegas 'kukatakan: Tidak! Bukan karena itu semua. Semata-mata karena aku anak tertua Bapak dan Ibu. Sudah begitu.
Sungguh ingin 'kuakhiri ini semua di sini, ketika menengok ke belakang, melampaui bahu terbentur wajah anak-anak perempuanku Kin dan Khaira. Masya Allah cantik-cantik mereka. Lalu ada kambing. Kau jangan sedih 'ku sebut kambing. Aku selalu berdoa suatu hari nanti kau menjadi seekor kambing jantan dengan caramu sendiri. Sungguh, seandainya kau anak biologisku, kau pun akan tetap 'ku sebut begitu. Apapun yang terjadi aku 'kan selalu berpegang bahwa anak lelaki tak ubahnya besi babi, harus ditempa menjadi sebilah pedang! Ini berlaku pula bagi para kemenakan!
"Begitulah cara Bapak menyayangimu. Hei, Bapak jauh lebih baik dari Akung. Mana pernah Akung mendekap Bapak jika Bapak merasa sedih, meski kamu agak lebih sering bersedih hati dibanding Bapak. Tidak, bukan Akung kurang sayang pada Bapak. Hanya saja ia memang sok-sok'an macho. Mungkin pengaruh Uti juga. Itulah tekad Bapak dulu. Tidak ada yang kurang. Semua gebugan, semua sabetan, lengkap harus ada. Hanya saja ditambah dekapan, pelukan seperlunya. Bapak harap kamu segera mengerti sebelum terlambat. Kamu harus lebih baik dari Bapak."
2 comments:
Bapakku pernah bilang, lelaki bebas lakukan apa saja asal dia terima akibatnya.
Lalu aku teringat kelakuanku di sebuah lapak penyewaan piringan laser: dua keping film Warkop DKI yang tanpa hambatan aku bawa pulang bersama beberapa film yang disewa bapakku.
Kini aku menerima akibatnya...
Manusia hanya bisa menerka-nerka akibat dari perbuatan buruknya. Nyatanya, itu sepenuhnya hakNya semata. Selebihnya, manusia hanya dapat memohon ampun padaNya dan mencoba memperbaiki perbuatannya atau meminta maaf.
Post a Comment