Ada kalanya gula palem dilarutkan dalam air panas, diberi rempah-rempah, terasa sungguh nikmatnya, terutama di tepi jalan-jalan Havana begini. Aku lantas saja mengangkat gelasku pada mural el Che di setentang Plaza de la Revolucion dan berseru: "Hasta siempre, Comandante!" Sungguh terdengar menjijikkan, seperti adegan dalam acara-acara pelancongan murahan di pisi-pisi, yang dibawakan oleh gadis-gadis dengan wajah dan riasan pasaran. Aku pun sudah tidak sanggup duduk-duduk di trotoar Jakarta, di peron stasiunnya, menyantap sebungkus nasi lengkap dengan lauk-pauknya, bersama wanita sinting setengah telanjang.
Tidak ada motif altruistik apapun, aku hanya ingin melepas hajat padanya. Tidak timbul pula belas kasihan dalam hatiku, ketika ia mengerang-erang memanggilku "Mas Manto." Jangan salah. Aku melakukannya bukan karena tidak punya uang, meski memang aku saat itu tidak punya uang. Melampiaskan birahi tidak berarti melakukannya tanpa sentuhan artistik sama sekali, tanpa membuatnya menjadi puitis. Kulukis guratan-guratan pada wajah orang-orang yang lalu-lalang, demi melihat pria telanjang setengah sinting melepas hajat pada wanita sinting setengah telanjang. Aku sekadar menyingkap daster lusuhnya, tidak sampai melucuti.
Sekali lagi, tanpa alasan kemanusiaan. Kuakui, sebelum itu aku memang menyusupkan tangan ke balik dasternya, memuntir-muntir puting susunya. Tidak, aku tidak sedang mencoba merangsangnya, meski, ya, ia mendesis dan mendesah, Si Sinting itu. Aku sekadar ingin mengepaskan antara frekuensiku dengan frekuensinya, agar hilang itu gerisik dan gerasak yang sangat tidak artistik itu. Hei, suatu lukisan yang impresionistik seyogianya merdu dan mendayu. Untuk keperluan ini bahkan kusembunyikan semua perkusi apapun itu, kulakukan dengan kesungguhan seorang penjahit asal Payakumbuh atau Tasikmalaya.
Semua sudah pas pada tempatnya, kecuali satu. Tidak ada seorang pun, seorang moralis atau polisi moral, yang menghardik dan mendera kami sedang kelaminku dipagut kelamin Si Sinting tidak bisa lepas. Kami lantas mencoba merangkak ke arah berlawanan, berkaing-kaing. Namun, kelaminnya memagut kelaminku alangkah kerasnya, sehingga kami semakin berkaing-kaing saja. Sang Moralis semakin murka, menghardik dan mendera, mengelupas kulit dari punggung-punggung kami. Wanita Sinting kini melolong, sedang aku mulai menggeram mempertontonkan taring. Entah bagaimana, ini justru menggelorakan birahi Sang Moralis.
Aku sudah tidak peduli lagi. Kuterkam Polisi Moral sedang kelaminku masih menancap dalam guagarba Wanita Sinting. Ia terbanting-banting terhempas-hempas. Kuhunjamkan dalam-dalam taringku ke nadi leher Polisi Moral. Isinya larutan gula palem dan rempah-rempah! Kutenggak habis sampai kering-kerontang. Polisi Moral kini menjadi slilit di taring-taringku, Wanita Sinting kini menjadi semacam ekorku, atau setidaknya perpanjangan ekor. Mereka berdua membusuk di tempat, sedang tidak kubiarkan mereka mengganggu langkahku yang membawaku entah kemana. Apa peduliku. Aku toh telanjang. Aku toh setengah sinting.
Namun itu dulu. Kini aku berpakaian dan setengah waras. Setidaknya ini lebih baik daripada setengah berpakaian dan waras, kurasa. Sudah lama tidak kupikirkan Polisi Moral dan Wanita Sinting. Akan tetapi, baru saja tadi kugaruk-garuk selangkanganku, masih ada sisa-sisanya itu Wanita Sinting. Kukorek-korek gigi taringku, masih ada itu sisa-sisa Polisi Moral di sela-selanya. Lantas kupandangi El Che meski muralnya saja. "Hei Bodoh!" sapaku dengan wajah sok berwibawa dan seringai sok bijaksana. "Bagaimana di neraka? Sudah kausadari ketololanmu setelah di dalam sana?" Aku berlenggang kangkung sambil menyiulkan Konserto Warsawa.
Bukan lagi senapang dikokang, melainkan gawai keluaran terbaru dicolek-colek agar keluar itu semua kebijak-bestarian terpampang. Bukan lagi parang pemapas leher tempat kepala-kepala durjana bertengger, melainkan gadis-gadis bertampang dan berbodi komersil dengan guagarba-guagarbanya yang berjengger. Tepat ketika aku membatin gadis-gadis ini, kemaluanku berkedut. Oh, ternyata sisa-sisa kelamin Wanita Sinting menjebik mengejek. Kurenggut ia dari pagutannya, semua tercerabut kecuali kesintingan dan kelusuhannya. Kuludahkan sisa-sisa Polisi Moral, semua terburai kecuali gula palem dan rempah-rempahnya.
Tidak ada motif altruistik apapun, aku hanya ingin melepas hajat padanya. Tidak timbul pula belas kasihan dalam hatiku, ketika ia mengerang-erang memanggilku "Mas Manto." Jangan salah. Aku melakukannya bukan karena tidak punya uang, meski memang aku saat itu tidak punya uang. Melampiaskan birahi tidak berarti melakukannya tanpa sentuhan artistik sama sekali, tanpa membuatnya menjadi puitis. Kulukis guratan-guratan pada wajah orang-orang yang lalu-lalang, demi melihat pria telanjang setengah sinting melepas hajat pada wanita sinting setengah telanjang. Aku sekadar menyingkap daster lusuhnya, tidak sampai melucuti.
Sekali lagi, tanpa alasan kemanusiaan. Kuakui, sebelum itu aku memang menyusupkan tangan ke balik dasternya, memuntir-muntir puting susunya. Tidak, aku tidak sedang mencoba merangsangnya, meski, ya, ia mendesis dan mendesah, Si Sinting itu. Aku sekadar ingin mengepaskan antara frekuensiku dengan frekuensinya, agar hilang itu gerisik dan gerasak yang sangat tidak artistik itu. Hei, suatu lukisan yang impresionistik seyogianya merdu dan mendayu. Untuk keperluan ini bahkan kusembunyikan semua perkusi apapun itu, kulakukan dengan kesungguhan seorang penjahit asal Payakumbuh atau Tasikmalaya.
Semua sudah pas pada tempatnya, kecuali satu. Tidak ada seorang pun, seorang moralis atau polisi moral, yang menghardik dan mendera kami sedang kelaminku dipagut kelamin Si Sinting tidak bisa lepas. Kami lantas mencoba merangkak ke arah berlawanan, berkaing-kaing. Namun, kelaminnya memagut kelaminku alangkah kerasnya, sehingga kami semakin berkaing-kaing saja. Sang Moralis semakin murka, menghardik dan mendera, mengelupas kulit dari punggung-punggung kami. Wanita Sinting kini melolong, sedang aku mulai menggeram mempertontonkan taring. Entah bagaimana, ini justru menggelorakan birahi Sang Moralis.
Aku sudah tidak peduli lagi. Kuterkam Polisi Moral sedang kelaminku masih menancap dalam guagarba Wanita Sinting. Ia terbanting-banting terhempas-hempas. Kuhunjamkan dalam-dalam taringku ke nadi leher Polisi Moral. Isinya larutan gula palem dan rempah-rempah! Kutenggak habis sampai kering-kerontang. Polisi Moral kini menjadi slilit di taring-taringku, Wanita Sinting kini menjadi semacam ekorku, atau setidaknya perpanjangan ekor. Mereka berdua membusuk di tempat, sedang tidak kubiarkan mereka mengganggu langkahku yang membawaku entah kemana. Apa peduliku. Aku toh telanjang. Aku toh setengah sinting.
Namun itu dulu. Kini aku berpakaian dan setengah waras. Setidaknya ini lebih baik daripada setengah berpakaian dan waras, kurasa. Sudah lama tidak kupikirkan Polisi Moral dan Wanita Sinting. Akan tetapi, baru saja tadi kugaruk-garuk selangkanganku, masih ada sisa-sisanya itu Wanita Sinting. Kukorek-korek gigi taringku, masih ada itu sisa-sisa Polisi Moral di sela-selanya. Lantas kupandangi El Che meski muralnya saja. "Hei Bodoh!" sapaku dengan wajah sok berwibawa dan seringai sok bijaksana. "Bagaimana di neraka? Sudah kausadari ketololanmu setelah di dalam sana?" Aku berlenggang kangkung sambil menyiulkan Konserto Warsawa.
Bukan lagi senapang dikokang, melainkan gawai keluaran terbaru dicolek-colek agar keluar itu semua kebijak-bestarian terpampang. Bukan lagi parang pemapas leher tempat kepala-kepala durjana bertengger, melainkan gadis-gadis bertampang dan berbodi komersil dengan guagarba-guagarbanya yang berjengger. Tepat ketika aku membatin gadis-gadis ini, kemaluanku berkedut. Oh, ternyata sisa-sisa kelamin Wanita Sinting menjebik mengejek. Kurenggut ia dari pagutannya, semua tercerabut kecuali kesintingan dan kelusuhannya. Kuludahkan sisa-sisa Polisi Moral, semua terburai kecuali gula palem dan rempah-rempahnya.