Biasanya, sebelum menghadapi papan-kunci, lintasan pikiran berkebat-kebit berkesiuran. Beberapa lucu, selebihnya muram, terlebih badan linu-linu begini. Seperti tadi, begitu saja terpikir musikku menye, kopiku ginseng, rokok kretek ‘ku sudah lama tidak. Dari tahun-tahun yang lebih muda. Uah, begitu benar, sedang Salim Said saja sudah menuliskan kisah hidupnya sendiri. Ada yang beli, Pak? Bagaimana penjualannya? Maafkan saya membaca versi digitalnya, atau Bapak memang sudah menyerah? Memang begitu itulah, saya rasa, nasib barang yang sama kita cintai.
Buku. Dua orang muda, bahkan mungkin masih remaja. Keturunan Cina. Duduk berhadap-hadapan menunggu pesanan datang. Tidak saling bercakap-cakap. Mata-mata menatap lekat-lekat gawai masing-masing. Media sosial! Instakeparat! Astaga, yang terpampang menari-nari di hadapanku adalah hancurnya peradaban, kebudayaan, sedang belum pernah tegak berdiri apalagi menguasai. Sekali lagi, yang terasa adalah badan linu-linu. Jangankan menegakkan benang basah, menegakkan rayap sendiri saja sudah tidak sanggup. Setelah ini, yang akan kulakukan paling berbaring bergolek-golek sambil berharap badan enak dengan sendirinya.
Kebiasaan asal goblek begini, [istilah seseorang, yang kemungkinan besar dipinjamnya juga dari seseorang, semacam Bibi dan Cil yang gogoyangan. Anjing!] ternyata tidak berpengaruh banyak ketika tiba waktunya harus pura-pura bener kayak orang-orang. Nyatanya, tulisanku dimuat oleh The Conversation, dwibahasa pula! Dalam proses penyuntingan aku dipandu oleh Mbak Ika Krismantari yang sangat profesional dan menyenangkan. Mungkin aku harus berterima kasih juga kepada Arizha Tiara Mutia, yang entah dapat ide dari mana memintaku menulis mengenai Dwifungsi ABRI.
Wartawan. Seniman. Profesi-profesi yang kukagumi, mungkin sejak lama sekali. Adalah sekolahku keparat di Magelang itu yang menyesatkanku. Jika tidak mungkin sudah dari awal aku mengarahkan diriku menjadi wartawan atau seniman. Untung aku tidak mengarahkan diri ke situ, karena kedua profesi ini sudah kehilangan relevansinya di Abad ke-21 ini. [Mbak Ika bagaimana, Tiara bagaimana?] Itu hanya pendapatku pribadi saja. Mana tahu kenyataannya tidak begitu. Nyatanya Tiara magang di situ, mungkin di bawah bimbingan langsung Mbak Ika.
Wartawan. Songong. Sotoy. Ini saja bukan wartawan begitu. Selain itu aku tidak bisa. Sulit kubayangkan. Lebih mudah bagiku membandingkan antara Deni dan Nawi. Lantas yang model apa, yang canggih begitu, yang penuh dengan pernak-pernik. Tidak. Aku suka yang telanjang apa adanya. Itu berarti aku suka pada diriku sendiri. Untunglah istilah metroseksual sudah tidak terkenal. Jika sampai bertemu pencetusnya, kutempeleng bolak-balik maju-mundur pakai karet pentil! Menjual, jih! [a la Hamid Arif. Di sini kesombongan aristokratikku muncul]
Satu lagi, kebiasaan asal ngomyang [kalau ini lebih elit, dari Umar Kayam] sempat membuatku terkesiap melihat soal-soal sok logik sok analitik dari Tes Kemampuan Dasar Akademik, meski hasilnya ternyata aku tambah cerdas tujuh poin dari lima tahun lalu. Dan apakah harus kutampar Pak Ndul yang menghina Mas Toni dan sebangsanya, kurasa tidak juga. Aku saja yang kurang periksa. Dengan ini, kunyatakan seterbukanya kemaluan dan penyesalanku. [Bapak-tuhan ini entah mengapa terdengar menjengkelkan pagi ini. Salah sendiri]
Ini kembali menjadi eksibisionisme, dan tinggal satu paragraf lagi ini. Lelaki yang Kucintai. Terserah perempuan mana saja mencintai lelakinya yang mana saja, sekadar suka atau kagum juga boleh-boleh saja. Apakah ada yang kagum, suka bahkan cinta kepada Nawi, ya tidak apa-apa. Namun ini tidak akan menghalangiku untuk mengumpat, “Tolol!” dan mendiamkan semua yang patut diumpat begitu. Memang tolol. Mau apa. Biar saja. Memang dunia lebih baik diisi tolol-tolol ini, biar cepat bubar aku tidak peduli!
Buku. Dua orang muda, bahkan mungkin masih remaja. Keturunan Cina. Duduk berhadap-hadapan menunggu pesanan datang. Tidak saling bercakap-cakap. Mata-mata menatap lekat-lekat gawai masing-masing. Media sosial! Instakeparat! Astaga, yang terpampang menari-nari di hadapanku adalah hancurnya peradaban, kebudayaan, sedang belum pernah tegak berdiri apalagi menguasai. Sekali lagi, yang terasa adalah badan linu-linu. Jangankan menegakkan benang basah, menegakkan rayap sendiri saja sudah tidak sanggup. Setelah ini, yang akan kulakukan paling berbaring bergolek-golek sambil berharap badan enak dengan sendirinya.
Kebiasaan asal goblek begini, [istilah seseorang, yang kemungkinan besar dipinjamnya juga dari seseorang, semacam Bibi dan Cil yang gogoyangan. Anjing!] ternyata tidak berpengaruh banyak ketika tiba waktunya harus pura-pura bener kayak orang-orang. Nyatanya, tulisanku dimuat oleh The Conversation, dwibahasa pula! Dalam proses penyuntingan aku dipandu oleh Mbak Ika Krismantari yang sangat profesional dan menyenangkan. Mungkin aku harus berterima kasih juga kepada Arizha Tiara Mutia, yang entah dapat ide dari mana memintaku menulis mengenai Dwifungsi ABRI.
Wartawan. Seniman. Profesi-profesi yang kukagumi, mungkin sejak lama sekali. Adalah sekolahku keparat di Magelang itu yang menyesatkanku. Jika tidak mungkin sudah dari awal aku mengarahkan diriku menjadi wartawan atau seniman. Untung aku tidak mengarahkan diri ke situ, karena kedua profesi ini sudah kehilangan relevansinya di Abad ke-21 ini. [Mbak Ika bagaimana, Tiara bagaimana?] Itu hanya pendapatku pribadi saja. Mana tahu kenyataannya tidak begitu. Nyatanya Tiara magang di situ, mungkin di bawah bimbingan langsung Mbak Ika.
Wartawan. Songong. Sotoy. Ini saja bukan wartawan begitu. Selain itu aku tidak bisa. Sulit kubayangkan. Lebih mudah bagiku membandingkan antara Deni dan Nawi. Lantas yang model apa, yang canggih begitu, yang penuh dengan pernak-pernik. Tidak. Aku suka yang telanjang apa adanya. Itu berarti aku suka pada diriku sendiri. Untunglah istilah metroseksual sudah tidak terkenal. Jika sampai bertemu pencetusnya, kutempeleng bolak-balik maju-mundur pakai karet pentil! Menjual, jih! [a la Hamid Arif. Di sini kesombongan aristokratikku muncul]
Satu lagi, kebiasaan asal ngomyang [kalau ini lebih elit, dari Umar Kayam] sempat membuatku terkesiap melihat soal-soal sok logik sok analitik dari Tes Kemampuan Dasar Akademik, meski hasilnya ternyata aku tambah cerdas tujuh poin dari lima tahun lalu. Dan apakah harus kutampar Pak Ndul yang menghina Mas Toni dan sebangsanya, kurasa tidak juga. Aku saja yang kurang periksa. Dengan ini, kunyatakan seterbukanya kemaluan dan penyesalanku. [Bapak-tuhan ini entah mengapa terdengar menjengkelkan pagi ini. Salah sendiri]
Ini kembali menjadi eksibisionisme, dan tinggal satu paragraf lagi ini. Lelaki yang Kucintai. Terserah perempuan mana saja mencintai lelakinya yang mana saja, sekadar suka atau kagum juga boleh-boleh saja. Apakah ada yang kagum, suka bahkan cinta kepada Nawi, ya tidak apa-apa. Namun ini tidak akan menghalangiku untuk mengumpat, “Tolol!” dan mendiamkan semua yang patut diumpat begitu. Memang tolol. Mau apa. Biar saja. Memang dunia lebih baik diisi tolol-tolol ini, biar cepat bubar aku tidak peduli!