Aku juga tidak ingin ini menjadi kebiasaan. Pukul setengah delapan pagi masih di rumah, berkaus oblong, bercelana pendek bolong di pantat, menyanding secangkir kopi Kapal Api Mantap. Apanya yang mantap, manisnya. Sudah sejak lama kuketahui bahwa kopi sasetan yang ini tidak kusukai, karena manisnya lebay. Apakah akan menjadi kebiasaanku ngopi hitam, terlebih pagi-pagi, aku tidak ingin juga. Saking saja kopi ini juga diminum oleh Pak Ihin dan kawan-kawan. Aku tidak ingin sama dengan anggota-anggota kelas menengah penggemar kopi itu. Aku bukan bagian dari mereka.
Ini pun sesuatu yang kurang patut. Sedang Syekh Ghamidi melantunkan al-Kahfi dengan suaranya yang lembut melangutkan, aku malah mengetik-ngetik begini. Apa tidak sebaiknya aku berolahraga. Tepat di sini, Cantik keluar kamar, bertanya siapa yang cuci piring. Uah, memang lebay manisnya. Apa aku harus membeli kopi bubuk sesungguhnya, daripada minum yang berkrimer-krimer entah-entah. Apa bedanya dengan minum santan. Kopi pahit. Siapa tahu ini kebiasaan baik, tapi kopi pahitnya orang kebanyakan. Kopi pahitnya penjual pesor alias lontong sayur, yang dipikul.
Jelasnya, ini pagi yang indah sekali, meski tidak membawa hati bernyanyi. Bisa saja kurinci segala sesuatu yang telah kulakukan sepagian ini, tapi aku memilih tidak. Tidak ada satupun yang sanggup membuatku sedih atau khawatir, kecuali dosa-dosaku yang menggunung, sedang amalku serba sedikit dan memalukan. Bahkan debat copras-capres tidak kuasa merusak suasana hatiku, meski tadi aku sempat berseru: "Tidak ada radikalisme, intoleransi!" Namun apa peduliku. Masa depanku terlalu cerah untuk diganggu radikalisme intoleransi. Tidak akan, sampai kapanpun, ikut permainan mereka.
Dan kurasa aku tidak perlu terlalu khawatir jika entri-entriku tidak koheren. Bacalah cerpen-cerpennya Pram. Dia dahsyat menulis roman, epos atau apapun yang panjang-panjang itu. Untuk cerpen, kurasa Ahmad Tohari lebih bagus menulisnya ketimbang ia menulis panjang. Sejurus kemudian, pret-pret datang, jadi aku beli dulu. Kali ini si Abang mengangkat tema debat copras-capres. Pak Ihin sebenarnya suka acara itu, namun di kontrakannya tidak ada tivi. Aku agak menyesal memberitahukan sikapku kepada orang-orang baik ini, warganegara-warganegara yang patuh. Semoga Allah tidak menyia-nyiakan amal mereka. Semoga Allah menolong kami semua. Aamiin.
Kenyataannya, pemilihan serba langsung membuat orang-orang baik ini merasa melakukan sesuatu yang penting, dilibatkan dalam sesuatu yang lebih besar dari diri dan kehidupan mereka sehari-hari yang seringkali nirdrama. Kurasa memang sejak jaman prasejarah itulah gunanya drama, kesenian dalam bentuk apapun. Apakah itu seni rupa maupun seni pertunjukan. Hampir saja aku goyah melihat kesungguhan orang-orang baik ini ikut serta dalam politik tingkat tinggi. Namun segera kutemukan dalih. Ada bentuk pelibatan yang jauh lebih bermutu dari sekadar ini. Banyak malah.
Mau tidak mau aku jadi teringat Orde Baru. Aku jadi teringat penelitian Mbak Vita, yang ketika dipaparkan di depan Kelompok Riset MoMat tempo hari, terasa begitu sederhananya. Namun pesan yang dibawanya Insya Allah penting sekali. Memang sebagai ilmuwan sosial kami harus senantiasa menjaga kekritisan. Namun bagiku ada tugas yang lebih besar lagi dari sekadar kritis. Kritis baik untuk menjaga objektivitas dan kewarasan, namun bisa jadi kurang berfaedah dalam tataran bertindak praksis. Bentuk-bentuk pelibatan yang bermutu harus selalu diusahakan, dan itu tidak otoriter.
Sebelum lebih jauh, ada baiknya aku kembali pada Mantap ini. Tidak 'lah. Kurasa setelah ini aku akan memasuki hiatus panjang menikmati Mantap yang agak sulit dinikmati ini. Patiyah, menurut pengakuannya, bisa menikmatinya. Baguslah jika demikian. Aku, kalaupun masih mau mencoba, mungkin akan memberi peluang pada Spesial. Hei, jangan-jangan di Imani Prima ada. Jangan-jangan masih ada Kandar atau Hendri. Bisa minta tolong dibuatkan. Namun mengopi lebih dari secangkir sehari, aku pasti becanda. Ini hari Jumat, penghulunya hari-hari. Mari kita nikmati adanya!
Ini pun sesuatu yang kurang patut. Sedang Syekh Ghamidi melantunkan al-Kahfi dengan suaranya yang lembut melangutkan, aku malah mengetik-ngetik begini. Apa tidak sebaiknya aku berolahraga. Tepat di sini, Cantik keluar kamar, bertanya siapa yang cuci piring. Uah, memang lebay manisnya. Apa aku harus membeli kopi bubuk sesungguhnya, daripada minum yang berkrimer-krimer entah-entah. Apa bedanya dengan minum santan. Kopi pahit. Siapa tahu ini kebiasaan baik, tapi kopi pahitnya orang kebanyakan. Kopi pahitnya penjual pesor alias lontong sayur, yang dipikul.
Jelasnya, ini pagi yang indah sekali, meski tidak membawa hati bernyanyi. Bisa saja kurinci segala sesuatu yang telah kulakukan sepagian ini, tapi aku memilih tidak. Tidak ada satupun yang sanggup membuatku sedih atau khawatir, kecuali dosa-dosaku yang menggunung, sedang amalku serba sedikit dan memalukan. Bahkan debat copras-capres tidak kuasa merusak suasana hatiku, meski tadi aku sempat berseru: "Tidak ada radikalisme, intoleransi!" Namun apa peduliku. Masa depanku terlalu cerah untuk diganggu radikalisme intoleransi. Tidak akan, sampai kapanpun, ikut permainan mereka.
Dan kurasa aku tidak perlu terlalu khawatir jika entri-entriku tidak koheren. Bacalah cerpen-cerpennya Pram. Dia dahsyat menulis roman, epos atau apapun yang panjang-panjang itu. Untuk cerpen, kurasa Ahmad Tohari lebih bagus menulisnya ketimbang ia menulis panjang. Sejurus kemudian, pret-pret datang, jadi aku beli dulu. Kali ini si Abang mengangkat tema debat copras-capres. Pak Ihin sebenarnya suka acara itu, namun di kontrakannya tidak ada tivi. Aku agak menyesal memberitahukan sikapku kepada orang-orang baik ini, warganegara-warganegara yang patuh. Semoga Allah tidak menyia-nyiakan amal mereka. Semoga Allah menolong kami semua. Aamiin.
Kenyataannya, pemilihan serba langsung membuat orang-orang baik ini merasa melakukan sesuatu yang penting, dilibatkan dalam sesuatu yang lebih besar dari diri dan kehidupan mereka sehari-hari yang seringkali nirdrama. Kurasa memang sejak jaman prasejarah itulah gunanya drama, kesenian dalam bentuk apapun. Apakah itu seni rupa maupun seni pertunjukan. Hampir saja aku goyah melihat kesungguhan orang-orang baik ini ikut serta dalam politik tingkat tinggi. Namun segera kutemukan dalih. Ada bentuk pelibatan yang jauh lebih bermutu dari sekadar ini. Banyak malah.
Mau tidak mau aku jadi teringat Orde Baru. Aku jadi teringat penelitian Mbak Vita, yang ketika dipaparkan di depan Kelompok Riset MoMat tempo hari, terasa begitu sederhananya. Namun pesan yang dibawanya Insya Allah penting sekali. Memang sebagai ilmuwan sosial kami harus senantiasa menjaga kekritisan. Namun bagiku ada tugas yang lebih besar lagi dari sekadar kritis. Kritis baik untuk menjaga objektivitas dan kewarasan, namun bisa jadi kurang berfaedah dalam tataran bertindak praksis. Bentuk-bentuk pelibatan yang bermutu harus selalu diusahakan, dan itu tidak otoriter.
Sebelum lebih jauh, ada baiknya aku kembali pada Mantap ini. Tidak 'lah. Kurasa setelah ini aku akan memasuki hiatus panjang menikmati Mantap yang agak sulit dinikmati ini. Patiyah, menurut pengakuannya, bisa menikmatinya. Baguslah jika demikian. Aku, kalaupun masih mau mencoba, mungkin akan memberi peluang pada Spesial. Hei, jangan-jangan di Imani Prima ada. Jangan-jangan masih ada Kandar atau Hendri. Bisa minta tolong dibuatkan. Namun mengopi lebih dari secangkir sehari, aku pasti becanda. Ini hari Jumat, penghulunya hari-hari. Mari kita nikmati adanya!