Entri-entri di bulan-bulan 2016 tampak seperti strategi sepak bola saja. Apakah entri ini sekadar agar September tidak satu, atau yang lainnya, di dunia Kemacangondrongan ini tidak ada pentingnya. Di sini pertanyaan tidak untuk dijawab dan jawaban tidak harus atas pertanyaan—meski tanda baca sedapat-dapatnya harus tetap dijaga akurasinya. Malam ini aku bersama Oom Philippe Pagès dengan mini orkestranya—setelah agak beberapa hari terakhir ditemani Opa Fausto Papetti dengan dehaman saksofonnya.
Lantas sekarang Oom Phillipe memainkan gubahan kompatriot dan sebayanya, Jean-Claude Borelly, yakni Dolannes Melody—bah, hari-hariku diisi oleh Perancis-perancis ini—bedanya, Oom Phillipe pianis, Oom Jean-Claude terompetis. Lantas... oh, Einsames Herz, Hati yang Sepi, salah satu lagu yang agak bisa kumainkan pada piano, meski tangan kiriku terlalu ribut. Maka tepatlah apa yang biasa kukatakan, tegangnya senar gitar hanya cocok bagi hati riang—ketika hati sedang rusuh, kelembutan tuts-tuts pianolah penawarnya.
Apa rasanya jika ambiens sebuah lobi hotel dijejalkan pada kedua lubang telingamu, ya, seperti inilah. Hotel-hotel memang sengaja dibuat nyaman karena itulah fungsinya. Semakin nyaman tentu semakin mahal, semakin seadanya semakin murah. Ini sesungguhnya adalah bentuk keputusasaan dalam menemukan persekitaran yang membangun dan mendukung suasana hati, sedangkan hal-hal seperti keharusan untuk bolak-balik ke dan dari bilangan Segitiga Senen betul-betul menggerusnya. Uah, La Mer! Ini di lobi hotel yang nyaman, lengang.
Ini pula adalah kekecewaan yang meronta-ronta meminta penawarnya, yang sehingga kini belum juga kunjung diketemukan. La Mer memang sudah sesuai dengan berkurangnya hiruk-pikuk, akan tetapi rasa badan yang tidak seberapa, lengket karena udara yang berada di tepi hujan deras, malam yang sudah tidak muda lagi menghancurkan semua harapan akan suasana hati yang prima. Apa aku hanya dapat ber-Mimpi [tentang] Cinta (Liebestraum)—sedangkan Ibu sekarang tiap hari menonton dangdut saja kerjanya.
Tentu saja berlebihan jika kukatakan duniaku runtuh sedikit demi sedikit. Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Yahudi-yahudi yang menjadi korban rezim Nazi atau yang semacamnya—ada juga cerita mengenai keluarga yang hancur tercerai-berai gara-gara ramai-ramai 1965. Ini masih belum melibatkan kejahatan yang tiada tara. Ini masih sekadar dunia yang memang tidak pernah diciptakan sempurna, Insya Allah, agar manusia tidak terlalu cinta kepadanya. Ini sekadar menjalani hari-hari seperti dilakukan semua orang.
Alangkah mahalnya—jika demikian—khayalan mengenai trotoar yang tidak bersih dan tidak rapih—khas trotoar-trotoar di Jakarta—bermandikan cahaya kuning temaram lampu jalan, mungkin di sekitar Terminal Senen. Apakah itu berarti naik PPD nomor 10 atau 11 tidak terlalu menjadi masalah. Apakah ketika itu makan dulu di salah satu warung atau entah penjaja makanan apa di sekitar terminal, bisa jadi. Apakah cukup uangku di dompet untuk itu semua, tidak mengapa.
Terpenting dari itu semua, aku menuju pulang. Malam sudah cukup larut dan mungkin ini adalah bis terakhir yang dapat membawaku ke Terminal Blok M. Sesampainya di sana, maka berjalan kakilah menuju Blok M Plaza, di bawahnya ada McD yang buka 24 jam untuk sekadar membeli ice cream cone—karena untuk yang lain kemungkinan uangku tidak cukup. Apakah saat begitu di benakku menggeremang Moon River yang dimainkan dengan piano, boleh jadi.
Lalu langkah-langkahku menjadi ringan berjalan kaki menuju Radio Dalam, bisa berbelok pas di Hero atau melewati kuburan dulu tidak menjadi masalah. Terlebih penting lagi, suatu pertanyaan: Apakah saat itu di hatiku ada cinta? Apakah sesampainya di rumah Bapak dan/atau Ibu masih wungu—jika tidak, tentu saja aku terpaksa mengetuk-ngetuk pagar dengan gembok agak keras, atau malah lompat pagar. Bisa masuk ke kamar belakang, bisa juga tidak. Adakah cinta di hatiku?
Lantas sekarang Oom Phillipe memainkan gubahan kompatriot dan sebayanya, Jean-Claude Borelly, yakni Dolannes Melody—bah, hari-hariku diisi oleh Perancis-perancis ini—bedanya, Oom Phillipe pianis, Oom Jean-Claude terompetis. Lantas... oh, Einsames Herz, Hati yang Sepi, salah satu lagu yang agak bisa kumainkan pada piano, meski tangan kiriku terlalu ribut. Maka tepatlah apa yang biasa kukatakan, tegangnya senar gitar hanya cocok bagi hati riang—ketika hati sedang rusuh, kelembutan tuts-tuts pianolah penawarnya.
Apa rasanya jika ambiens sebuah lobi hotel dijejalkan pada kedua lubang telingamu, ya, seperti inilah. Hotel-hotel memang sengaja dibuat nyaman karena itulah fungsinya. Semakin nyaman tentu semakin mahal, semakin seadanya semakin murah. Ini sesungguhnya adalah bentuk keputusasaan dalam menemukan persekitaran yang membangun dan mendukung suasana hati, sedangkan hal-hal seperti keharusan untuk bolak-balik ke dan dari bilangan Segitiga Senen betul-betul menggerusnya. Uah, La Mer! Ini di lobi hotel yang nyaman, lengang.
Ini pula adalah kekecewaan yang meronta-ronta meminta penawarnya, yang sehingga kini belum juga kunjung diketemukan. La Mer memang sudah sesuai dengan berkurangnya hiruk-pikuk, akan tetapi rasa badan yang tidak seberapa, lengket karena udara yang berada di tepi hujan deras, malam yang sudah tidak muda lagi menghancurkan semua harapan akan suasana hati yang prima. Apa aku hanya dapat ber-Mimpi [tentang] Cinta (Liebestraum)—sedangkan Ibu sekarang tiap hari menonton dangdut saja kerjanya.
Tentu saja berlebihan jika kukatakan duniaku runtuh sedikit demi sedikit. Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Yahudi-yahudi yang menjadi korban rezim Nazi atau yang semacamnya—ada juga cerita mengenai keluarga yang hancur tercerai-berai gara-gara ramai-ramai 1965. Ini masih belum melibatkan kejahatan yang tiada tara. Ini masih sekadar dunia yang memang tidak pernah diciptakan sempurna, Insya Allah, agar manusia tidak terlalu cinta kepadanya. Ini sekadar menjalani hari-hari seperti dilakukan semua orang.
Alangkah mahalnya—jika demikian—khayalan mengenai trotoar yang tidak bersih dan tidak rapih—khas trotoar-trotoar di Jakarta—bermandikan cahaya kuning temaram lampu jalan, mungkin di sekitar Terminal Senen. Apakah itu berarti naik PPD nomor 10 atau 11 tidak terlalu menjadi masalah. Apakah ketika itu makan dulu di salah satu warung atau entah penjaja makanan apa di sekitar terminal, bisa jadi. Apakah cukup uangku di dompet untuk itu semua, tidak mengapa.
Terpenting dari itu semua, aku menuju pulang. Malam sudah cukup larut dan mungkin ini adalah bis terakhir yang dapat membawaku ke Terminal Blok M. Sesampainya di sana, maka berjalan kakilah menuju Blok M Plaza, di bawahnya ada McD yang buka 24 jam untuk sekadar membeli ice cream cone—karena untuk yang lain kemungkinan uangku tidak cukup. Apakah saat begitu di benakku menggeremang Moon River yang dimainkan dengan piano, boleh jadi.
Lalu langkah-langkahku menjadi ringan berjalan kaki menuju Radio Dalam, bisa berbelok pas di Hero atau melewati kuburan dulu tidak menjadi masalah. Terlebih penting lagi, suatu pertanyaan: Apakah saat itu di hatiku ada cinta? Apakah sesampainya di rumah Bapak dan/atau Ibu masih wungu—jika tidak, tentu saja aku terpaksa mengetuk-ngetuk pagar dengan gembok agak keras, atau malah lompat pagar. Bisa masuk ke kamar belakang, bisa juga tidak. Adakah cinta di hatiku?