Agustus tidak pernah mengenai cinta, atau iya? Atau memang tidak pernah mengenai cinta kapanpun? Mungkin juga. Aku yang selalu menyangka sudah tersedia bagiku seorang perempuan, seperti tersedianya Ibuku untuk Bapakku. Dengan adanya “yang” maka menjadi seperti kalimat yang tidak selesai, apakah aku selalu gila ataukah gila yang tidak pernah tidak? Memang seingatku aku selalu ber-dungtakdung entah-entah jika sedang bersama diriku sendiri. Satu-satunya kawan yang tidak pernah kutinggalkan. Semuanya saja kutinggalkan.
Lalu Gisselle. Apa yang telah diperbuatnya padamu? Ia pun tidak hendak menikahimu, menjadikanmu perempuan baik-baik, menjadikanmu seorang istri, ibu dari anak-anaknya. Itu tidak akan terjadi. Ia melangkah pergi meninggalkan Gisselle, dan Gisselle pun tampak maklum. Hanya seks sekejap dan kejantanan yang lemas, sepercik benih bececeran di mana-mana, sudah itu... sudah. Gisselle tidak butuh melankoli, sentimentalisme. Ia hanya butuh uang untuk mengecat kuku-kukunya warna-warni, kadang ada motif-motifnya, kadang blocking warna saja.
Lalu matamu! Lebih baik kurusak saja matamu. Kupopor saja berkali-kali wajahmu sampai seperti wajah Oom Pierre sebelum masuk sumur, versi Arifin C Noer. Ini lebih realistis dibandingkan memaksa makan orang kegendutan sampai perutnya pecah, apa mungkin? Aduh, jangan jahat-jahatlah pada sesama manusia, kini kau mengajar Kewarganegaraan. Mengapa tidak kenapa? Mengapa tidak kutatap saja matamu sambil memasang wajah sok manis seperti Mang Untus? Mungkin karena kau mengakhiri lagu dengan kunci A.
Lalu Danza Rumena, tidak bersama Tante Roweina. Tidak perlu itu, sedangkan Warkop DKI akan terlahir kembali. Mana lebih menjijikkan, nekrofili atau nekrofagi? Sial, kenapa aku tahu istilah-istilah ini? Mengapa kini kenapa? Jangankan sekadar Adipura atau Kalpataru, sedangkan geofagi saja aku tahu dan salah satu faedahnya, konon, adalah memperlancar persalinan, kelahiran. Hija, [atau hiya?] ini seruan yang cucok jika engkau harus berdansa berputar-putar dengan kerangka manusia sungguhan koleksi Museum Zoologi Bogor.
Dan kondor itu entah semacam slepot entah sontolmeong, mengingatkanku pada celana pendek biru ketat, baju dikeluarkan, tidak pakai kaus kaki. Tidak pernah. Pukulan demi pukulan, bertubi-tubi apakah itu kepalan maupun aspal, bahkan cakaran, semua terasa seperti melodia bagiku. Semua seperti selokan kering dan gadis remaja usia awal belasan dengan rambut keriting kecoklatannya yang mengembang. Apa yang kucicipi justru keringnya selokan, tidak pernah basah lembabnya bibir gadis remaja usia awal belasan.
Mungkin itulah sebabnya kepalaku penuh dengan otak berhamburan diterjang proyektil yang dimuntahkan Brown Bess. Gadis dan kekasihnya sekali. Tidak pernah aku mengenai sasaran apapun sebelumnya. Kali ini, kepala gadis dan kekasihnya dibuat buyar oleh Brown Bess. Olehku? Pak Hakim, anda tuli? Brown Bess, kataku berulang-ulang! Brown Bess! Bukan aku yang membuyarkan otak-otak mereka. Brown Bess! Tidak ada bedanya. Jangan kaugantung ia. Gantung saja aku pada leherku, atau terbalik pada kakiku.
Asaptaga, Johnny Guitar apa kabar? Lama tidak bersua, begini kau rupanya. Johnny Guitar, biar kusebut namamu sekali lagi, biar ingat selalu meski ke neraka sekalipun. Neraka? Aku yang tidak pernah merasakan basah lembabnya bibir gadis remaja, aku yang seumur hidup merasakan pahit getirnya selokan kering, masuk neraka? Aduhai Algojo, Aduhai Romo, apa iya? Algojo dan Romo hanya memandang penuh iba, dan tepat saat itulah aku menggeliat-geliat minta diturunkan dari tiang.
Gila apa? Biar kucicipi dulu bibir gadis remaja. Aku tidak mau masuk neraka! Turunkan aku! Turunkan! Pak Hakim! Romo! Di mana keadilan? Aku yang tidak pernah mengenal cinta dibakar di neraka, sampai hangus dibiarkan menjerit-jerit, berkulit berdaging lagi, dibakar lagi sampai hangus menjerit-jerit, berkulit berdaging lagi...sampai akhir jaman? Edan! Aku yang bahkan belum pernah tahu hangatnya dekapan wanita kecuali Ibuku sendiri? Turunkan! Pak Hakim! Algojo! Romo! Tuhan... Engkaukah? Tiada... (ctak!)
Lalu Gisselle. Apa yang telah diperbuatnya padamu? Ia pun tidak hendak menikahimu, menjadikanmu perempuan baik-baik, menjadikanmu seorang istri, ibu dari anak-anaknya. Itu tidak akan terjadi. Ia melangkah pergi meninggalkan Gisselle, dan Gisselle pun tampak maklum. Hanya seks sekejap dan kejantanan yang lemas, sepercik benih bececeran di mana-mana, sudah itu... sudah. Gisselle tidak butuh melankoli, sentimentalisme. Ia hanya butuh uang untuk mengecat kuku-kukunya warna-warni, kadang ada motif-motifnya, kadang blocking warna saja.
Lalu matamu! Lebih baik kurusak saja matamu. Kupopor saja berkali-kali wajahmu sampai seperti wajah Oom Pierre sebelum masuk sumur, versi Arifin C Noer. Ini lebih realistis dibandingkan memaksa makan orang kegendutan sampai perutnya pecah, apa mungkin? Aduh, jangan jahat-jahatlah pada sesama manusia, kini kau mengajar Kewarganegaraan. Mengapa tidak kenapa? Mengapa tidak kutatap saja matamu sambil memasang wajah sok manis seperti Mang Untus? Mungkin karena kau mengakhiri lagu dengan kunci A.
Lalu Danza Rumena, tidak bersama Tante Roweina. Tidak perlu itu, sedangkan Warkop DKI akan terlahir kembali. Mana lebih menjijikkan, nekrofili atau nekrofagi? Sial, kenapa aku tahu istilah-istilah ini? Mengapa kini kenapa? Jangankan sekadar Adipura atau Kalpataru, sedangkan geofagi saja aku tahu dan salah satu faedahnya, konon, adalah memperlancar persalinan, kelahiran. Hija, [atau hiya?] ini seruan yang cucok jika engkau harus berdansa berputar-putar dengan kerangka manusia sungguhan koleksi Museum Zoologi Bogor.
Dan kondor itu entah semacam slepot entah sontolmeong, mengingatkanku pada celana pendek biru ketat, baju dikeluarkan, tidak pakai kaus kaki. Tidak pernah. Pukulan demi pukulan, bertubi-tubi apakah itu kepalan maupun aspal, bahkan cakaran, semua terasa seperti melodia bagiku. Semua seperti selokan kering dan gadis remaja usia awal belasan dengan rambut keriting kecoklatannya yang mengembang. Apa yang kucicipi justru keringnya selokan, tidak pernah basah lembabnya bibir gadis remaja usia awal belasan.
Mungkin itulah sebabnya kepalaku penuh dengan otak berhamburan diterjang proyektil yang dimuntahkan Brown Bess. Gadis dan kekasihnya sekali. Tidak pernah aku mengenai sasaran apapun sebelumnya. Kali ini, kepala gadis dan kekasihnya dibuat buyar oleh Brown Bess. Olehku? Pak Hakim, anda tuli? Brown Bess, kataku berulang-ulang! Brown Bess! Bukan aku yang membuyarkan otak-otak mereka. Brown Bess! Tidak ada bedanya. Jangan kaugantung ia. Gantung saja aku pada leherku, atau terbalik pada kakiku.
Asaptaga, Johnny Guitar apa kabar? Lama tidak bersua, begini kau rupanya. Johnny Guitar, biar kusebut namamu sekali lagi, biar ingat selalu meski ke neraka sekalipun. Neraka? Aku yang tidak pernah merasakan basah lembabnya bibir gadis remaja, aku yang seumur hidup merasakan pahit getirnya selokan kering, masuk neraka? Aduhai Algojo, Aduhai Romo, apa iya? Algojo dan Romo hanya memandang penuh iba, dan tepat saat itulah aku menggeliat-geliat minta diturunkan dari tiang.
Gila apa? Biar kucicipi dulu bibir gadis remaja. Aku tidak mau masuk neraka! Turunkan aku! Turunkan! Pak Hakim! Romo! Di mana keadilan? Aku yang tidak pernah mengenal cinta dibakar di neraka, sampai hangus dibiarkan menjerit-jerit, berkulit berdaging lagi, dibakar lagi sampai hangus menjerit-jerit, berkulit berdaging lagi...sampai akhir jaman? Edan! Aku yang bahkan belum pernah tahu hangatnya dekapan wanita kecuali Ibuku sendiri? Turunkan! Pak Hakim! Algojo! Romo! Tuhan... Engkaukah? Tiada... (ctak!)