Memang sudah lama sekali aku tidak gila-gilaan menulisi Kemacangondrongan, terlebih di tengah malam yang kacau-balau begini perasaan hatiku. Tidak ada lagi yang kuinginkan, apalagi sekadar menuliskan buah-buah pikiranku. Buah? Setelah Michael menarikan Tarian Terakhir, aku benar-benar sudah tidak tahu [dan mungkin juga tidak peduli] pada apa yang kuinginkan. Tahun ini empatpuluh tahun usiaku menurut perhitungan surya, yang lebih lazim bagi kebanyakan orang. Empat puluh tahun masih juga begini saja terus.
Memandangi Matahari Terbenam Karibia, seperti sudah kulakukan setidaknya seperempat abad terakhir dalam hidupku. Di manakah akan kutemukan kebahagiaan? Tidak dalam hidup ini? Aduhai, adakah di antara kalian yang membaca ini dapat memberiku kebahagiaan? Apa itu bahagia? Sesuatu yang kuciptakan dalam pikiranku sendiri, sehingga tidak ada seorang pun kecuali diriku sanggup menjelangkannya padaku? Demikianlah dari jaman Asatron sampai sekarang dengan Winamp, aku harus menggesernya seperlahan mungkin agar jangan sampai bisu sama sekali.
Apakah kulakukan juga dengan walkman Sony dahulu, yang spikernya merah? Adakah kusangka ketika itu jika demikian adanya aku kini? Adakah aku ketika itu punya bayangan apa yang akan terjadi padaku di kemudian hari? Tidak ada! Tidak ada sesuatu pun, seseorang pun yang memberitahu. Jadi, jika demikian adanya aku kini, memang sudah dapat diduga dari dahulu, karena masih saja aku ditemani Dick Bakker di malam-malam seperti ini. Jika dulu kutulis Perang, Prajurit dan Persenjataan yang sepenuhnya mengarang bebas, [hahaha] kemudian Masyarakat yang Dikondisikan, maka sekarang adalah ini.
Bedanya, adalah kini shalatku entah betul entah tidak. Bedanya, sekepul dua asap entah Sampoerna King atau apapun sepanjang kretek. Oh, malam ini teringat lagi betapa nyamannya, meski mungkin itu juga yang mengantar Pak Widhi ke peristirahatan terakhirnya. Semoga Allah melapangkan kuburnya, senyaman perasaanku malam ini. Amin. Dunia ini... memang sekadar panggung Salihara, yang ternyata sulit juga membuatnya. Jika tidak sulit tentu bukan dunia, karena dunia ini tidak semulus alur film-film holiwud, apalagi sinetronnya Raam Punjabi. Mbulet.
Bunga-bunga rumput ini entah tidak mengerti entah tidak peduli kupandangi, meski lantas saja aku teringat Bang Ade dan sebangsanya. Sama saja sepertiku, semua saja berusaha mencari hidup dengan kebisaan masing-masing, apapun yang ada padanya. Meski rejeki sudah dijamin. Tidak berarti bahwa lantas berpangku-tangan, meski berpangku tangan aku yakin rejeki juga. Rejeki yang... entahlah, tidak pada tempatnya aku berkomentar. Kapan ini akan kuterbitkan di Kemacangondrongan? Entahlah. Saat ini tidak kurasakan dorongan untuk menyimpannya di flesdisk atau mencari koneksi Internet.
Apa yang akan membuatku bahagia? Memandangi Gubug Peceng dan Lanjar Ngirim di langit malam yang cerah benderang, seperti di tengah-tengah kebun tebu dahulu? Benar itukah yang membuatku bahagia, atau sekadar kemudaan dan ketololan dan kedunguan? Mungkin juga tidak, karena bagiku setidaknya, ketuaan juga masih tolol dan dungu, seperti wajah-wajah yang berkelebat-kelebat di depan mata. Mau diapakan? Mau diapakan rumah-rumah pedesaan yang temaram dengan lampu bohlam watt kecil, dengan jalanan tanah yang becek dan udara basah bekas hujan, dari sekitar Legok sampai di lereng-lereng Menoreh?
Aku sekarang ini memang seekor monyet peliharaan akibat mengundi nasib. Leherku dilingkari gelang besi yang dihubungkan dengan rantai ke gelang besi lain, yang melingkari batang pohon ketapang kecubung. Aku hanya bisa menyeringai memperlihatkan taringku yang sudah keropos. Selebihnya aku sekadar monyet peliharaan. Ah, aku mulai suka entri ini, meski ia tidak membawaku terbang Tinggi di Angkasa. Ia hanya menyeretku sepanjang karport yang tidak ada karnya. Tak apalah nyatanya aku ini monyet peliharaan.
Gidongdep Gidap Gidongdep Steiondesin
Memandangi Matahari Terbenam Karibia, seperti sudah kulakukan setidaknya seperempat abad terakhir dalam hidupku. Di manakah akan kutemukan kebahagiaan? Tidak dalam hidup ini? Aduhai, adakah di antara kalian yang membaca ini dapat memberiku kebahagiaan? Apa itu bahagia? Sesuatu yang kuciptakan dalam pikiranku sendiri, sehingga tidak ada seorang pun kecuali diriku sanggup menjelangkannya padaku? Demikianlah dari jaman Asatron sampai sekarang dengan Winamp, aku harus menggesernya seperlahan mungkin agar jangan sampai bisu sama sekali.
Apakah kulakukan juga dengan walkman Sony dahulu, yang spikernya merah? Adakah kusangka ketika itu jika demikian adanya aku kini? Adakah aku ketika itu punya bayangan apa yang akan terjadi padaku di kemudian hari? Tidak ada! Tidak ada sesuatu pun, seseorang pun yang memberitahu. Jadi, jika demikian adanya aku kini, memang sudah dapat diduga dari dahulu, karena masih saja aku ditemani Dick Bakker di malam-malam seperti ini. Jika dulu kutulis Perang, Prajurit dan Persenjataan yang sepenuhnya mengarang bebas, [hahaha] kemudian Masyarakat yang Dikondisikan, maka sekarang adalah ini.
Bedanya, adalah kini shalatku entah betul entah tidak. Bedanya, sekepul dua asap entah Sampoerna King atau apapun sepanjang kretek. Oh, malam ini teringat lagi betapa nyamannya, meski mungkin itu juga yang mengantar Pak Widhi ke peristirahatan terakhirnya. Semoga Allah melapangkan kuburnya, senyaman perasaanku malam ini. Amin. Dunia ini... memang sekadar panggung Salihara, yang ternyata sulit juga membuatnya. Jika tidak sulit tentu bukan dunia, karena dunia ini tidak semulus alur film-film holiwud, apalagi sinetronnya Raam Punjabi. Mbulet.
Bunga-bunga rumput ini entah tidak mengerti entah tidak peduli kupandangi, meski lantas saja aku teringat Bang Ade dan sebangsanya. Sama saja sepertiku, semua saja berusaha mencari hidup dengan kebisaan masing-masing, apapun yang ada padanya. Meski rejeki sudah dijamin. Tidak berarti bahwa lantas berpangku-tangan, meski berpangku tangan aku yakin rejeki juga. Rejeki yang... entahlah, tidak pada tempatnya aku berkomentar. Kapan ini akan kuterbitkan di Kemacangondrongan? Entahlah. Saat ini tidak kurasakan dorongan untuk menyimpannya di flesdisk atau mencari koneksi Internet.
Apa yang akan membuatku bahagia? Memandangi Gubug Peceng dan Lanjar Ngirim di langit malam yang cerah benderang, seperti di tengah-tengah kebun tebu dahulu? Benar itukah yang membuatku bahagia, atau sekadar kemudaan dan ketololan dan kedunguan? Mungkin juga tidak, karena bagiku setidaknya, ketuaan juga masih tolol dan dungu, seperti wajah-wajah yang berkelebat-kelebat di depan mata. Mau diapakan? Mau diapakan rumah-rumah pedesaan yang temaram dengan lampu bohlam watt kecil, dengan jalanan tanah yang becek dan udara basah bekas hujan, dari sekitar Legok sampai di lereng-lereng Menoreh?
Aku sekarang ini memang seekor monyet peliharaan akibat mengundi nasib. Leherku dilingkari gelang besi yang dihubungkan dengan rantai ke gelang besi lain, yang melingkari batang pohon ketapang kecubung. Aku hanya bisa menyeringai memperlihatkan taringku yang sudah keropos. Selebihnya aku sekadar monyet peliharaan. Ah, aku mulai suka entri ini, meski ia tidak membawaku terbang Tinggi di Angkasa. Ia hanya menyeretku sepanjang karport yang tidak ada karnya. Tak apalah nyatanya aku ini monyet peliharaan.
Gidongdep Gidap Gidongdep Steiondesin