Tepat ketika Tante Connie mengucap selamat tinggal kepada Barcelona, hujan turun dengan derasnya di telingaku. Tiba-tiba terdengar kembali suara menyayat hati itu, tangisan musang. Kenapa kau menangis, Kawan? Apakah kau lapar? Tidak ada lagikah yang dapat dimakan? Maafkan aku telah memetik pepaya matang, yang mungkin seharusnya menjadi makananmu. Toh, aku tidak memakannya juga. Guruh di kejauhan sekali-sekali terdengar, dan Cinta adalah Sesuatu yang Sangat Agung. Bahkan jari-jari pecinta ulung takkan mampu menandingi cantiknya bekas cakar-cakar musang pada buah pepaya matang.
Jari-jari yang membelai tentu akan terasa seperti Taman Surga, jika bukan surganya itu sekali. Jari-jari cinta saling menyentuh menelusuri lekuk liku tubuh, terkadang terbelit rambut-rambut di sana-sini. Jari-jari maut merenggut jiwa siapapun, baik yang hatinya dipenuhi cinta sepanjang hidup maupun yang tidak pernah merasakan cinta. Burung kedasih sudah mulai memperdengarkan nyanyiannya yang memilukan. Mungkin sebentar lagi memang benar-benar akan masuk musim penghujan. Hujan yang mengilhamkan cinta pada sepasang kedasih, membawa barokah pada telur-telur mereka yang kelak menetas.
Sejuknya udara terasa di hati mengilhamkan kesejukan pula pada sekujur tubuh di setiap pori. Seakan bibir kekasih menyapu lembut tengkuk sampai menggelinjang dihembus-hembus hangatnya cinta, begitulah hati yang sejuk. Suasana hati apakah ini yang sedang kurasakan, yang sangat jarang ini? Rasanya hampir seperti jatuh cinta, yang jatuhnya bertubi-tubi seperti butir-butir hujan deras menghantam genting tua berlumut. Irama yang dihasilkannya membuat jantungku berdetak nyaman, tidak berdentam-dentam. Waktu seakan paham dan berhenti, menghapus masa lalu, terlebih masa depan.
Kudekapkan kedua telapak tanganku pada dada kiriku, sedangkan kepalaku sedikit tengadah. Mataku terpejam membiarkan air hujan mengalir deras melalui kelopak-kelopaknya, alis dan bulu matanya. Dahiku bagaikan air terjun yang bersolek dengan pelangi kembar, bahkan tiga, bahkan lebih dari itu. Kepalaku yang botak ini seakan ditumbuhi lebat-lebatnya hutan hujan tropis lengkap dengan para penghuni kanopinya yang riuh rendah, namun damai. Aku tidak takut sendirian di sini. Aku tidak butuh dokter, klinik rawat jalan, apalagi rumah sakit dengan unit gawat daruratnya.
Aku biar di sini saja. Dunia ini memang tempatnya sakit dan kesakitan. Namun jika begini sekelilingku dan suasana hatiku, biar saja. Akan kuikuti ke mana saja, karena dalam hatiku aku tahu, suatu hari nanti entah di mana di sepanjang jalan ini, akan kutemui cinta sejatiku, benar-benar milikku sendiri. Suatu hari nanti kelak di kemudian hari, ketika waktu sudah berjalan kembali. Tidak ada tempat yang terlalu jauh, tidak ada lautan yang terlalu luas, ke manapun ia pergi akan kuikuti. Timpani bergemuruh menandai akan tercapainya klimaks di antara kami semua... Aaahhh!
Cinta. Cinta. Cinta... adalah khayalanku mengenai hidupan liar. Cinta adalah seekor kadal dan bunyi-bunyian binatang malam. Cinta ada di mana-mana di persekitaran. Cinta adalah debu yang ikut terhirup melalui hidung, terperangkap rambut-rambut dan lapisan lendir, menjadi upil. Cinta adalah rasa yang kaudapatkan saat otot-otot bola matamu rileks, dahimu datar tanpa kerutan, dan jarimu sibuk mengorek-ngorek lubang hidungmu. Memilin-milin seberapapun yang kau dapatkan, mencium lagi baunya sampai berkali-kali, terkadang malah mencicipi asin getirnya, itulah cinta. Siapa lagi yang kauharapkan sanggup memberikannya kecuali dirimu sendiri?
Jangan kau rusak cinta dengan apapun. Kita ada karena cinta, kita tiada karena cinta. Dengarkanlah bisikan daun-daun randu alas yang sedang memadu kasih dengan burung hantu. Dengarkanlah bisik-bisik duri-duri pada batangnya, membumbungkan puji-pujian bagi cinta. Lalu hembusan angin dan desahannya yang aku, kau dan kita semua tahu. Desaunya di atas rawa gambut yang penuh dengan cahaya-cahaya berpendar mengambang di udara, membuat Tante Connie meratap-ratap minta tolong, sedangkan tangisan musang kembali terdengar.
Jari-jari yang membelai tentu akan terasa seperti Taman Surga, jika bukan surganya itu sekali. Jari-jari cinta saling menyentuh menelusuri lekuk liku tubuh, terkadang terbelit rambut-rambut di sana-sini. Jari-jari maut merenggut jiwa siapapun, baik yang hatinya dipenuhi cinta sepanjang hidup maupun yang tidak pernah merasakan cinta. Burung kedasih sudah mulai memperdengarkan nyanyiannya yang memilukan. Mungkin sebentar lagi memang benar-benar akan masuk musim penghujan. Hujan yang mengilhamkan cinta pada sepasang kedasih, membawa barokah pada telur-telur mereka yang kelak menetas.
Sejuknya udara terasa di hati mengilhamkan kesejukan pula pada sekujur tubuh di setiap pori. Seakan bibir kekasih menyapu lembut tengkuk sampai menggelinjang dihembus-hembus hangatnya cinta, begitulah hati yang sejuk. Suasana hati apakah ini yang sedang kurasakan, yang sangat jarang ini? Rasanya hampir seperti jatuh cinta, yang jatuhnya bertubi-tubi seperti butir-butir hujan deras menghantam genting tua berlumut. Irama yang dihasilkannya membuat jantungku berdetak nyaman, tidak berdentam-dentam. Waktu seakan paham dan berhenti, menghapus masa lalu, terlebih masa depan.
Kudekapkan kedua telapak tanganku pada dada kiriku, sedangkan kepalaku sedikit tengadah. Mataku terpejam membiarkan air hujan mengalir deras melalui kelopak-kelopaknya, alis dan bulu matanya. Dahiku bagaikan air terjun yang bersolek dengan pelangi kembar, bahkan tiga, bahkan lebih dari itu. Kepalaku yang botak ini seakan ditumbuhi lebat-lebatnya hutan hujan tropis lengkap dengan para penghuni kanopinya yang riuh rendah, namun damai. Aku tidak takut sendirian di sini. Aku tidak butuh dokter, klinik rawat jalan, apalagi rumah sakit dengan unit gawat daruratnya.
Aku biar di sini saja. Dunia ini memang tempatnya sakit dan kesakitan. Namun jika begini sekelilingku dan suasana hatiku, biar saja. Akan kuikuti ke mana saja, karena dalam hatiku aku tahu, suatu hari nanti entah di mana di sepanjang jalan ini, akan kutemui cinta sejatiku, benar-benar milikku sendiri. Suatu hari nanti kelak di kemudian hari, ketika waktu sudah berjalan kembali. Tidak ada tempat yang terlalu jauh, tidak ada lautan yang terlalu luas, ke manapun ia pergi akan kuikuti. Timpani bergemuruh menandai akan tercapainya klimaks di antara kami semua... Aaahhh!
Cinta. Cinta. Cinta... adalah khayalanku mengenai hidupan liar. Cinta adalah seekor kadal dan bunyi-bunyian binatang malam. Cinta ada di mana-mana di persekitaran. Cinta adalah debu yang ikut terhirup melalui hidung, terperangkap rambut-rambut dan lapisan lendir, menjadi upil. Cinta adalah rasa yang kaudapatkan saat otot-otot bola matamu rileks, dahimu datar tanpa kerutan, dan jarimu sibuk mengorek-ngorek lubang hidungmu. Memilin-milin seberapapun yang kau dapatkan, mencium lagi baunya sampai berkali-kali, terkadang malah mencicipi asin getirnya, itulah cinta. Siapa lagi yang kauharapkan sanggup memberikannya kecuali dirimu sendiri?
Jangan kau rusak cinta dengan apapun. Kita ada karena cinta, kita tiada karena cinta. Dengarkanlah bisikan daun-daun randu alas yang sedang memadu kasih dengan burung hantu. Dengarkanlah bisik-bisik duri-duri pada batangnya, membumbungkan puji-pujian bagi cinta. Lalu hembusan angin dan desahannya yang aku, kau dan kita semua tahu. Desaunya di atas rawa gambut yang penuh dengan cahaya-cahaya berpendar mengambang di udara, membuat Tante Connie meratap-ratap minta tolong, sedangkan tangisan musang kembali terdengar.