Hidup tanpa kopi, coklat, teh tarik... wedang apa lagi yang bisa kuminum? Aku suka medang, minuman hangat. Kunyit masih bisa, tapi kebanyakan kunyit yang beredar terlalu banyak gulanya. Marut sendiri? Boleh juga sih... meski pasti kuning-kuning semua tanganku. Sudah delapan botol Sari Kunyit Sido Muncul kuhabiskan, sudah dua bulan... Sudahlah. Mengganggu memang, tapi tidak ada lagi yang dapat kulakukan kecuali mencoba berdamai dengannya. Akan halnya kebiasaan medang, yah, pada akhirnya semua juga akan berakhir.
Mendekati tengah malam setelah menonton WBA vs Liverpool yang, kalau katanya Bang Khasan, yen ngene wae angel, ini juga ga bener. Tidak boleh frustrasi. Lebih baik fokus pada shalat. Kenapa aku suka lupa sudah berapa rakaat. Itu tanda yang sangat jelas bahwa shalatku masih ngawur. Lalu ini, malah mengetik-ngetik bukannya segera tidur. Mau shubuh jam berapa? Seingatku memang sudah lama sekali, bertahun-tahun lamanya, shubuhku asal-asalan. Tobatku asal-asalan. Aku tidak tahu apa-apa mengenai tobat.
Tenggorokanku sore ini terasa agak sakit. Bahkan sambil nonton Liverpool tadi hidungku sudah mulai tersumbat. Gara-gara itu aku minum Ester-C dua sekaligus. Langsung kembung, perih dan berdebar-debar. Kamu kenapa tidak sembuh-sembuh sih? Menghadapi kamu saja aku tidak berdaya. Lalu aku mau sok-sokan. Apa ini sebabnya maka aku malas sekali menyelesaikan apa yang sudah kujanjikan. Seakan-akan aku tahu apa yang harus diperbuat. Seperti halnya mengenai tobat, mengenai ini pun aku tidak tahu apa-apa.
Mengenai hidup ini, aku tidak tahu apa-apa. Apalagi hidup sesudah mati. Apalagi Ketuhanan Yang Maha Esa. Jumat lalu aku pidato berapi-api [Pidato?! Udah sinting apa?! Itu cingcong. Mengingau] di depan anak bocah KKI 2015 mengenai apa yang dimaksud Prof. Supomo. Memang paling enak begitu. Cingcong mengenai seseorang, gagasan-gagasannya, yang sudah semare. Lhah, aku suka nekad cingcong mengenai buah karya Pak AB Kusuma padahal beliaunya masih segar bugar. Uah! Apa peduliku!
Lalu memang apa yang kulakukan? Apa benar yang kutuju? Tidakkah aku sekadar menjalani hari demi hari, berharap hari ini lebih sehat dari kemarin. Berharap hari ini bebas dari keluhan kesehatan, hanya untuk menemui keesokan harinya mengeluh lagi kurang sehat. Tak satu pun dari ini semua kuketahui, apalagi pikiran kawan-kawanku. Untuk apa ini semua? Untuk Bapak Ibu? Untuk Bangsa? Untuk Negara? Tidaklah mungkin ini terdengar lebih gila. Dengan temaramnya lampu baca, mentalku memang tidak beranjak sudah dua puluh tahun ini.
Lalu biasanya aku akan mengenang masa-masa yang telah lalu, karena aku monyet. Tepatnya kera. Aku kera, maka masa lalu ada di depanku. Entah mengapa dari cerita sepanjang itu, hanya hal inilah yang lekat dalam benakku. Manusia membohongi dirinya bahwa masa depan itu di depan. Padahal ia tahu persis bahwa yang di hadapannya itu, terpampang selalu di depan mata, adalah masa lalu. Masa depan itu khayal. Tidak ada. Yang nyata adalah masa lalu.
Impian tidak ada. Cita-cita omong kosong belaka. Tujuan? Tujuan berbangsa bernegara? Cita-cita Perjuangan Bangsa? Haruskah aku menghabiskan sisa umurku untuknya? Sedangkan Riane Eisler buat buku sudah banyak, terbaik penjual pula. Dasar orang Amerika, Yahudi pula! Meski harus diakui ia memberiku semangat. Memberanikanku untuk main gila! Tidak, tidak dengan perempuan lain. Waktuku sudah sangat sedikit. Sekarang waktunya main gila dengan impian. Cita-cita. Tujuan. Serius gila-gilaan sudah lampau. Sekarang waktunya gila serius-seriusan.
Wassalam, Ol' Kemosabe!