Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu. Keselamatan semoga atasmu, dan belas-kasihNya, dan keberkahan. Betapa tidak kumemujiNya, yang membangunkanku pada jam dua tiga puluh dini hari begini ketika semalam aku tidur tanpa mengerjakan shalat Isya’—meski masih saja aku tidak yakin apakah sudah kukerjakan empat atau baru tiga raka’at. Begini pula keadaan imanku. Terbangun tengah malam, di sepertiga malam terakhir, namun bukan qiyamullail yang kulakukan, melainkan menulis-nulis begini. Jiwa akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang dibiasakan olehnya. Astaghfirullahal Azhiim.
Jasad dan ruh ibarat santan dalam kelapa, begitulah aku pernah mendengar suatu perumpamaan. Lalu di mana letaknya jiwa atau nafs atau sukma atau self, yang diperintahkan untuk menyucikannya, yang dilarang untuk merusaknya? Apa yang telah kulakukan pada jasadku seharian ini? Kurasa persis seperti yang telah kulakukan padanya, mungkin sudah lima tahun terakhir ini, atau sudah lebih lama lagi dari itu. Malam kemarin kubulatkan niatku untuk berpuasa, akan tetapi, ketika berpacu dengan Vario, sarapanlah yang kupikirkan.
Sarapanku kemarin pagi adalah, seperti biasa, nasi merah, terong balado, ikan asin dan telur tepung dadar dari Warung Dilla. Makan siangku Mi Ayam Kota di depan Gereja Bethel, komplit dengan pangsit rebus dan baksonya dua butir. Makan malamku Indomie Jumbo biru, tiga buah pangsit Ocean’s King, dan masih ditambah tiga utas otak-otak goreng lagi. Kini pun, ketika aku sedang mengetik begini, perutku protes minta diisi. Di rice cooker ada nasi, mungkin akan kumakan dengan kombu soyu.
Nah, sekarang aku baru saja kembali dari makan semangkuk nasi dengan kimchi dan kombu soyu. Pastilah dahulu itu termasuk makanan mewah, dan ini adalah malam-malam seperti itu, yang sudah cukup lama pula tak kualami—yakni, malam-malam di mana tiba-tiba aku terbangun. Tahun ini tiga puluh delapan tahun umurku. Berapa lama lagi aku akan hidup? Ketika kuperiksa Prayer Times, ada tertulis di situ, Imsaak has arrived, padahal tadi aku ingin memeriksa berapa lama lagi sampai tiba waktu Shubuh.
Akankah aku tergerak pagi ini untuk mendirikan shalat sunat fajar? Mampukah aku menghadirkan hatiku pada ketika itu? Dapatkah aku mempertahankannya, untuk seterusnya, sampai tiba ajalku? Ya Allah, mudahkanlah hamba dalam melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik faedahnya bagi jiwa. Ya Allah, jadikanlah jiwa hamba jiwa yang tenang. Alhamdulillah, sudah masuk waktu Shubuh. Prayer Times yang kupasangi alarm adzan Madinah sungguh keras dan nyaring sekali bunyinya. Akankah aku pergi shalat di masjid, atau di rumah saja? Mampukah aku membiasakannya?
Atau akan kuteruskan saja mengetik-ngetik ini setelah aku shalat nanti? Di situlah sreg-nya hatiku. Hamba mohon ampun, Ya Rabb. Setelah shalat Shubuh yang tidak diteruskan dengan wirid itu, aku malah membuat coklat panas Indomaret. Entah mengapa, dalam satu cangkir merah Nescafe yang kecil ini terasa manis sekali pagi ini. Kemarin-kemarin aku buat di cangkir Herbadrink dan rasanya hambar. Sepertinya akan kutambahi air dulu. Uah, tak tahukah engkau betapa aku merindukanmu, wahai Kemacangondrongan, terlebih setelah aku punya akun Kompasiana?
Hmm, manisnya sudah hilang. Memang begini ini seharusnya menulis. Seperti grenjet-nya hati, selaras dengannya. Insya Allah sehat. Bagaimana dengan latihan? Yah, itu ada waktunya, yang jelas bukan sekarang. Mungkin memang harus kutekuni juga Kompasiana itu. Jadi semacam running two shows at once, entah apa maksudnya itu—terutama ketika Toccata menggema memenuhi rongga kepala, sedangkan dimainkan dengan gitar susahnya alakazam. Baik juga sebelum entri ini diakhiri, kucatat terlebih dulu niat untuk menulis mengenai Istana Anak-anak Indonesia.
Wassalam.