Wuih, terlalu banyak yang terjadi dalam dua hari terakhir ini (masa siy?), sampai aku kehilangan jejak. Yang kuingat sekarang, pertama, perasaan sedihku karena tidak masuk SIAK, namun, tidak seperti Boy Mardjono, aku tidak bisa menyuruh siapapun untuk memastikan namaku ada di sana. Kedua, pengalamanku bertemu dengan orang-orang dari Forum Reklamasi Hutan pada Lahan Bekas Tambang (RHLBT). Ketiga, yang baru saja kubaca tadi sambil mules, bahwa sebutan Indonesie itu berkonotasi primitif, sedangkan Indie setelah diberadabkan oleh Belanda. Entah harus dibahas tersendiri, aku juga ingin mencatat tentang kegelisahan Farid yang kelihatannya sulit disembuhkan. Oh iya, Cantik, tentu saja, catatan tentang gairahmu berdagang. Aku selalu suka melihatmu bergairah, Sayang.
Masuk topik pertama. Beberapa hari lalu, aku ingat betapa sedihnya ketika menyadari namaku tidak ada di SIAK. Jadi, semester ini aku tidak secara resmi terdaftar di matakuliah mana pun. Aku tahu ini masalah remunerasi. Buat apa berbagi denganku yang tidak butuh cumshot ini. Emangnya bukake. [baru saja kutenggak habis segelas indocafe coffeemix] Di tengah kesedihan itu, aku berjalan ke Bagian Keperdataan, siapa tahu ketemu Bang Idon. Ternyata memang ada beliau di sana. Bahkan ada Bu Mira segala. Akhirnya, aku menemukan diriku ngolor kepada Bang Idon. Aku berbicara mengenai kemungkinan aku sit-in di kelasnya Mbak Meli. Melengkapi catatan, kataku, persiapan untuk menyusun modul kelas internasional. Bang Idon menjelaskan, karena di kelas internasional tidak ada matakuliah Hukum Benda dan Perikatan Adat dan Hukum Waris Adat, maka materi Hukum Adat yang diberikan di sana harus diperkaya dengan bahasan-bahasan terkait yang disebut belakangan itu. That's alright, Mama. Sepotong bolu, kuharap. Akan tetapi, yang membuatku sedih adalah pilihan kata yang terpaksa kugunakan. Hiks, aku masih sit-in.
Aku belum diakui, sedangkan umurku sudah banyak. [Bang Idon juga menjelaskan bahwa di mata kuliah Hukum Adat belum dibahas mengenai norma. Ini menarik] Apakah aku harus meminta sekali lagi kepada Bang Idon agar namaku dimasukkan dalam SIAK? Hmmhhh... akan kutanyakan siang atau sore ini, Insya Allah, kalau beliau ada. Bu Mira, dalam kesempatan itu juga, menyarankan bila ada bukaan PNS aku lebih baik ikut. Bilakah itu? Batas umur untuk diterima sebagai PNS adalah 34, seingatku. Aku sudah 34 dari beberapa hari yang lalu. Masih adakah waktu? Pagi kemarin, sambil berkendara sepanjang Rasuna Said, Ditha berkata ingin mendapatkan ijin advokat, karena bidangnya, persaingan, banyak kasus mahal. Iya ya, kataku. Mumpung bukan PNS. Apapun itu, kalau tidak salah segera setelah aku turun dari Bidang Keperdataan, melewati pintu bagian Rumah Tangga, Pak Sardi mengangsurkan sepucuk surat padaku. Bono Budi Priambodo, SH., M.Sc. Staf Pengajar Program Sarjana, begitu tertulis di situ. Alhamdulillah, sedikit penghiburan di kala sedih.
--Berhenti dulu shalat Shubuh. Bersyukur. Mohon ampun--
Topik kedua, Forum RHLBT. Dari pertemuan pagi itu 26 Agustus 2010 sekitar 09.45 - 11.00, yang kupahami adalah sebagai berikut. Perusahaan pertambangan merasa perlu untuk mengamankan "investasi"-nya ketika menghutankan kembali lahan bekas tambang. Menurut Pak Jeffrey, Ketua Umum Forum RHLBT, petambang tidak berkeberatan untuk mengeluarkan sejumlah (besar) uang untuk mereklamasi lahan bekas tambang, sedangkan itu adalah kewajiban menurut peraturan perundang-undangan. Namun, alangkah baiknya jika, dengan menambahkan sedikit lagi dana, alih-alih menyerahkan "begitu saja" kembali kepada pemerintah, petambang atau pengusaha lainnya dapat terus mengusahakan hutan hasil reklamasi itu. Pak Jeffrey berdalih, petambang telah mengusahakan reforestasi itu dengan sedemikian baiknya, sedangkan, jika kegiatan pasca tambang ini telah selesai dan hutan yang telah tumbuh kembali itu dilepaskan begitu saja, pihak lain belum tentu mampu mengelolanya dengan baik. Ia khawatir, alih-alih membawa manfaat dan keuntungan bagi rakyat dan negara, hutan ini justru akan dimanfaatkan oleh para "pencoleng".
Yang agak menggangguku dalam pertemuan itu adalah pernyataan Pak Jon (Suhardijono?). Jika aku tidak salah tangkap, ia mengatakan hutan hasil reforestasi itu adalah "hak negara". Jadi, terserah negara mau diapakan, apakah dilelang kayunya kepada penawar tertinggi (Ini harus dikonfirmasi pada peraturannya). Jika benar apa yang kudengar itu, siapapun yang akhirnya berbicara tentang adanya "hak ulayat negara" tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Birokrat-birokrat seperti Pak Jon inilah yang, mungkin, mengakibatkannya. Istilah hak ini memang sangat problematik. Kurasa, biar berabad-abad telah berlalu, konsep property tidak akan pernah sepenuhnya dipahami oleh alam pikiran "ketimuran", atau, mungkin lebih tepat, siapapun yang menempatkan Tuhan pada posisi sentral a.k.a. teosentrisme. Yang bisa "memiliki" ya hanya Allah. Tak satu mahluk pun dapat memiliki apapun. Namun orang Barat kafir ini, yang antroposentris, mengemansipasikan manusia sebagai pengemban tidak saja kewajiban-kewajiban, tetapi, yang paling penting, juga hak! Sejak saat itulah urusan milik-memilik, hak-menghaki di Nusantara menjadi "kusut masam" (kata Obbie Mesakh hahaha...).
Dari sini, kita dapat beranjak ke topik ketiga. Segala kekusut-masaman yang ditimbulkan sejak imperialis-imperialis itu menjejakkan lunas kapal dan kaki di bumi air Nusantara bersumber dari pertanyaan: "Alam yang kaya ini, punya siapa?" Sebenarnya, satu-satunya jawaban yang ingin mereka dengar adalah: Punyaku! Akan tetapi, ada juga orang-orang seperti van Vollenhoven, dan lain-lain yang sepikiran dengannya, yang tidak rakus dan ingin membaginya dengan "penduduk asli". Bukan sekadar masalah balas budi atau tanggung-jawab moral, van Vollenhoven berusaha mengonstruksikan "kepemilikan" penduduk asli atas kekayaan alam itu, hence, konstruksi beschikkingsrecht alias hak ulayat. Samakah pengertian konsep ini dengan common property, di manakah letak perbedaannya, harus kuperiksa terlebih dulu. All in all, semoga aku tidak salah di sini. Siapapun van Vollenhoven, apapun yang dipikirkannya, kuharap satu watak yang mendasarinya. Tidak rakus. Jika betul demikian, maka kita sejalan. Just because of this, if I didn't remember a more important signifier, I'd love to call this entry: In the Spirit of van Vollenhoven, or would I make it an entry in Pusaka.info?
Farid bercerita, Anton bercerita, bahkan di Leiden sekalipun, di Van Vollenhoven Instituut sekalipun, masih juga developmentalis. Itu istilah yang digunakan entah Farid entah Anton. Aku berkomentar, mau bagaimana lagi. Aku juga mendengar kalau VVI pun kesulitan dana. Tentu saja ia berusaha memutakhirkan pendekatan, bahkan kalau perlu paradigmanya, agar terus mendapatkan pendanaan (dari pemerintah Belanda?) Aku sudah mengantisipasi hal ini, koq. Sekali lagi, mau bagaimana lagi? Negeri itu indah, harus kuakui, seperti dongeng. Lebih indah lagi euro-nya. Jadi aku tetap harus berusaha untuk kembali ke sana, jika semangat untuk membahagiakan kedua orangtuaku masih kurang cukup mendorongku. Biar kuulangi. Negeri keparat itu betapa permainya, dan euro-nya sedap betul! Lagipula, aku bukan eskapis. Aku pantang lari dari kenyataan! Sungguh aku ingin tertawa mendengar Farid membuat skripsi (hukum) mengenai Derrida(?!), seperti aku selalu ingin menertawakan kekaguman Sofyan pada Jafar Suryomenggolo. Larilah! Lari kemana pun kau suka! Berani kau mengkhianati harapan orangtuamu? Aku pengecut. Aku tidak! [ternyata segini saja tentang kegelisahan]
Dua tahun lalu, dalam rangka yang sama, Nuzulul Qur'an, aku menulis tentang Khadijah r.a. Aisyah r.a. Tahun ini aku juga menulis tentang perempuan, Gadis Kecilku Sayang.
Sampailah pada topik favoritku. Gairah Cinta! Sayang... Cantik... sungguh aku senang mendengarmu bergairah. Meski aku masih berpendapat tiga juta untuk modal awal terlalu berani, dan itu juga membuatku minder karena bahkan aku tidak punya sebanyak itu untuk kupertaruhkan pada ekspres gembolku, tapi aku suka gairahmu. Jumlah yang lebih kecil dari itu mungkin memang tidak sepadan denganmu yang, seperti halnya aku, meledak-ledak. Aah, sungguh aku suka melihatmu bergairah, Sayang. Sungguh tidak sedap dipandang jika kau sampai layu lesu karena tidak ada yang kaukejar. Aku membayangkan diriku sendiri. Betul-betul bencana jika aku sampai tidak punya sesuatu untuk dikejar, untuk diperjuangkan. Gadis Kecilku Sayang, jika pun bukan untuk apa-apa, jika pun bukan untuk bersamaku, gairah itu, semangat itu, sangat kauperlukan. Itu baik untuk kesehatanmu, Cantik. Fisik dan mental. Ya Allah, kumohonkan padaMu kebahagiaan bagi Gadis Kecilku Sayang. Aku sungguh mencintainya.