Jam Bostonku sudah meregister angka dua tiga tiga puluh, padahal tangan kananku sangat ingin membelai senar-senar gitarku. Dimulai dengan desahan senar bas, dilanjutkan dengan senandung senar-senar trebel, jari-jari tangan kiriku lembut menyentuh. Malam ini, aku merasa sangat ingin bernyanyi. Bahkan jika menilik dari rasa hatiku sekarang, tampaknya aku dapat menghasilkan selantun melodi yang cantik. Bukan tidak mungkin jika terus kuikuti perasaanku, melodi itu dapat kulengkapi dengan syair malam ini juga. Sungguh langka perasaan seperti ini. Sukar dilukiskan, namun teramat berharga. Kuikuti saja detik demi detik ia membawaku, mengalun, mendayu, menghanyutkanku.
Malam ini aku sedang tidak ingin cerdas, gila, atau apapun. Malam ini, aku ingin mencinta. Terserah cinta yang seperti apa saja, yang mewah maupun yang bersahaja, semua aku curahkan dengan hati terbuka. Hanya saja, cintaku malam ini begitu inderawi, dan tidak pada tempatnya jika pada jam dua tiga empat lima ini, di lantai dua Laathofpad Zes ini, aku bercengkerama dengan gitarku, satu-satunya penambat cinta inderawiku. Sebetulnya bisa saja aku meminjam kibor-kiboran yang ada di kamar Laura, lalu memainkannya sambil menyumbat telinga dengan earphone. Ya, kurasa itu pemecahan yang sempurna untuk masalah seperti ini --pemenuhan hasrat cinta inderawi di Laathofpad Zes, di tengah malam buta. Mungkin akan kucoba besok pagi, jika masih tersisa perasaan ini, dari malam ini.
Ngomong-ngomong, shoutout-nya Annelien Ronda menarik juga. Kau akan lebih cepat berteman jika tertarik pada orang, daripada berusaha membuat orang tertarik padamu, begitu kurang-lebihnya. Itulah masalahku. Jika aku mendengarkan orang, kepalaku malah sibuk sendiri sampai tiba-tiba melompatlah dari mulutku tanggapan yang sangat egois dan tidak simpatik, yang ujung-ujungnya adalah mengenai diriku sendiri, sudut pandangku sendiri. Well, kau sudah terlalu tua untuk masih saja berkutat dengan masalah seperti ini. Satu-satunya hal yang harus kau lakukan adalah: Berusaha lebih keras! Jadilah pendengar yang lebih baik. Ambillah pelajaran lebih banyak dari pengalaman orang lain. Beginilah jadinya kalau kurang dzikrullah. Ingat! Bahkan bumi tidak pernah ditakdirkan menjadi pusat apapun, apalagi manusia yang jauh lebih sepele!
Aku masih ingin menambah satu paragraf lagi, dan yang ini akan kudedikasikan pada perasaanku malam ini. Lalu bagaimana dengan kutukanku pada diriku sendiri? Jika kubilang, ah, itu 'kan bisa-bisamu saja, dan tiba-tiba aku ingat pada-Nya, aku takut tepat di situlah menyelinap hasrat-rendahku --meski kutukan itu juga akibat dorongan hasrat-rendahku. Hey, katanya tidak mau cerdas?! Okay, begini saja, kita lihat besok pagi apa yang terjadi. Mungkin begini jugalah sampai Pandawa Sulung suka berjudi mengundi nasib. Sentuhan, belaian, dan dekapan inderawi memang menguatkan jiwa, namun jiwa yang kuat mampu mengolah rasa yang terlatih untuk menguatkan jasadnya. Aku tidak kuat, meski mungkin hanya karena hampir tidak pernah lagi berlatih. Di jaman serba instan ini, mengapa pula masih harus repot-repot menyiapkan segala bumbu...
Woman in love needs only one man