Wednesday, August 20, 2025

Tetap Setia, Tetap Sedia Membela-beli Indo-mie 3x


Aduh, mengapa aku bisa lupa kepada pamongku seni rupa di esema. Aku tidak punya mobil mungkin karena esema. Seandainya saja esemka mungkin jadi mobil nasional. Plur mengatakan ini sastra, Pau bilang ini puitis. Sudah gila apa memapar anak-anak kecil ini pada pahitnya kenyataan macan yang gondrong. Aku, seperti biasa, mengitiki dalam sepi. Di sini selalu saja sepi. Di kokpit aku merasa seperti ada yang mengomentari. Kembali pada seni rupa, pamongku itulah yang memperkenalkanku pada kubisme dan dadaisme, yang tak dapat aku lupa.
Namanya kokpit tentu saja aku harus hati-hati, jangan sampai kapalku nyusruk. Ini ketidak-nyamanan yang sudah lama tidak 'ku rasakan: orang menyebut pesawat terbang dengan 'kapal'. Karena kapal [laut] tidak berlubang-pelir (cock-pit) tetapi beranjungan. Ah, aku gagal menjadi pelaut. Tempatku tidak pernah di anjungan atau bagian mana pun dari kapal. Tempatku di sini, di meja yang ada komputer pribadinya, atas-meja atau atas-paha; seperti entah berapa juta orang di Indonesia ini. 'Ku rasa aku menjadi lebih seperti orang kebanyakan, tidak jadi yang cuma sedikit.

'Tu dua tiga empat lima enam 'dikit. Begitu tadi aku menghitung ditemani jalan sutra yang dulu suka menghiasi hari-hari Minggu. Bilakah itu, di akhir '90-an. Memang segala sesuatu harus dibiasakan terlebih dulu, seperti Alasteman 12X ini. Sampai di sini saja sudah mulai terasa sedap-sedapnya. Segala puji hanya bagi Allah, Maha Suci Ia, Maha Tinggi, yang telah mengurniakan kesedapan di sore hari ini, menjelang Maghrib berhujan gerimis begini. Kambing dan orong-orong masih di luar, begitu pula entah berapa banyak ojek daring motor. Allah bersama kalian. Amin.

Asaptaga, apakah karena ini peramban asli Huawei jadi berbeda ukuran-ukurannya. Apakah dengan ini aku harus berhenti merata-kanan-kiri. Sungguh betapa nikmat, terlebih berkaca mata baca begini. Semua terasa terang seperti ketika muda. Aku masih ingat sebelum umur empat puluhan aku masih bisa tiduran membaca buku dalam kegelapan kamar menjelang Maghrib. Sekarang boro-boro, sambil duduk saja teramat sangat disarankan mengenakan kaca mata baca. Apakah semakin parahnya penglihatanku gara-gara di Kraanspoor suka bergelap-gelapan. 

Ya, 'ku rasa macan gondrong memang tak tergantikan oleh apapun, bahkan terbang sekalipun, dengan pesawat bermesin banyak sekalipun. Apakah macan gondrong ini semacam menerbangkan pesawat bermesin piston tunggal, macam aku pernah melakukannya saja. Tadi bahkan sempat berkhayal menjadikan PBM Mariner rumahku. Jauh lebih elit daripada Viar Karya yang berapapun. Aduh ini spiker Alasteman 12X memang sedap belaka, meski mungkin kalau di labkum tidak banyak berguna. Di dalam ruangan Prof. Tri mungkin bisa. Ya, dalam PDRH itu.

Teringatnya, Kitaro ada berkonser. Di mana kemarin aku melihatnya, di ITC Depok-kah. Berjalan kaki dari ITC Depok menuju Depok Plaza seperti masa-masa ketika masih muda. McDnya sudah tutup! Tidak ada kenangan apa-apa bagiku di situ, namun tetap saja sedih. Ada waktu-waktu aku mempertimbangkan mampir di sana, ketika ia satu-satunya McD di jalan pulang sebelum sampai rumah. Namun seringnya tidak jadi mampir. Hanya satu dua kali saja 'ku rasa, sepanjang keberadaannya di sana. Seperti manusia, segala sesuatu ada ajalnya. Semua yang ada ada tiadanya.

Aku belum lagi menggunakan Alasteman 12X ini untuk bekerja, berkarya (halahmadrid!). Pernahkah Axioo Pico dulu sampai menghasilkan karya, bukunet mungil berlapiskan Liverpool itu. Akankah 'ku relakan HP-11CB atau 'ku simpan saja, belum lagi tahu sekarang. Bahkan pensilnya ini pun mungkin akan 'ku simpan saja, tidak usah dibawa-bawa. Adakah benar kesempatanku untuk berlatih menggambar-gambar lagi, atau itukah cara yang lebih produktif untuk melepas lelah ketimbang menerbangkan pesawat bermesin banyak ke awang-awang. Entah, 'ku tak tahu-menahu.

No comments: