Meski ada Rian Hidayat di hadapanku, bukan berarti aku tidak merasakan kesepian akut yang kronis seperti biasa. Kesepian ini selalu menyelimuti dan menggerogoti dari dalam sejak kanak-kanakku. Bukan aku ingin menyalahkan kakekku untuk ini, karena mendoakanku menjadi seorang pemikir. Mungkin beliau tidak mendoakan dalam arti menginginkan. Beliau sekadar tahu bahwa aku yang manggala ini terlahir seorang pemikir dari rahim ibuku, anak perempuannya nan wuragil; sedang ibuku adalah seorang guru, sarjana. Kesepian 'lah sahabat sejatiku, sepanjang hidupku.
Sudah ada judulnya, sudah ada ilustrasinya, bahkan sudah sampai alinea kedua. Sudah banyak yang lupa. Sungguh hari yang aneh, tiba-tiba ada Hadi, tiba-tiba ada Arsil. Orang-orang dari hampir 30 tahun yang lalu. Bahkan ada Dede Rosyadah yang pernah dibelikan gusdut oleh Gundam. Ketuaan yang bacin. Keutekan yang lethek. Setua ini Alhamdulillah aku masih anak ibuku. Jelasnya, aku bukan anak-anak lagi. Hampir setengah abad usiaku, Ya Allah. Maka begitu saja kuucapkan selamat tinggal kepada Irfan Saleh dan Herbert ketika kami sama meninggalkan Graha 10 di 1992.
Di dalam akuarium ini tiba-tiba aku merindukan hingar-bingarnya pertempuran; merebut dan mempertahankan Cuzco dan Machu Pichu. Sebenarnya kalau dipikir-pikir tidak banyak bedanya antara membangun peradaban dan membangkitkan bangsa-bangsa. Hanya satunya bergiliran, lainnya waktu sejati. Selebihnya membangun-bangun berbagai-bagai bangunan yang seakan-akan memiliki makna sosial dan budaya, jadi lebih dari sekadar estetika fisik belaka. Itulah sebabnya jika letaknya salah langsung hancur, tak peduli banyak makanan, kayu, besi, emas terbuang.
Namun itu kemarin. Sekarang aku sudah tidak di akuarium lagi. Aku justru berada di mana tayo berada. Sehabis minum secangkir besar neo mochaccino halia hangat badanku tak kunjung segar. Maka 'ku bereskan barang-barang menuju tayo. Relung ini dahulu diisi almarhumah Profesor Melda. Begitu Bu Tri jadi profesor, beliau mendapatkan relung ini. Beliau tidak pernah memanfaatkannya untuk bertapabrata, berdekat-dekat dengan Hyang Maha Kuasa. Puji Syukur 'ku panjatkan padaNya yang menyelipkan kebahagiaan kecil di relung hatiku melalui Dewi Komalasari.
Posisiku sekarang sebenarnya sudah dalam keadaan berwudhu, namun ketika memasuki bilik pengakuan ini masih basah sekali. Maka mengeringkan dulu dengan mengetik-ngetik begini. Dimulai dengan aku membatu cinta padamu sampai ini laguku, sekarang sudah kembali dari atas ke seorang lelaki dan seorang perempuan. Sampai berapa lama lagi tidak masalah jika mengingat betapa lambat waktu terasa di manapun kapanpun. Terutama mungkin ketika menunggu apapun itu, padahal tidak ada yang ditunggu kecuali yang sudah pasti itu. Menunggu kabarasa baik.
Biarlah 'ku relakan seorang lelaki tanpa cinta untuk bapaknya Farrel. Biarlah ia dulu memanggilku 'mas' sekarang diajak Masber untuk jangan sampai kalah dariku. Memang aku siapa. Aku hanya senang mengenang-ngenang bukan lanang manganang melainkan waktu-waktu ketika bapaknya Farrel masih suka makan mie lengkap dengan berbagai onderdilnya. Telur sudah pasti. Bahkan bisa bakso, sosis, otak-otak, mungkin juga kornet yang jarang-jarang 'ku rasakan. Mieku polos saja boleh beli dari koperasinya Chardin. Biar begini saja, biar doa mengamini.
Yang ditanam di Rorotan entah di sebelah mana itu sisa-sisa jasad bapakku, sebagai pengingat seperti apapun jasadmu tidak banyak berarti. Mau sebesar Sungadi atau siapapun korban bulimia, anoreksia nervosa, imperius furiosa, apapun. Namun bapak terus bersamaku, bahkan kini ke manapun aku pergi. Bapak selalu bersamaku. Dulu ketika masih berjasad, aku harus mengadakan waktu untuk bertemu dengan bapak. Jasad dengan jasad. Padahal yang sejatinya bertemu adalah jiwa dengan jiwa. Kini tidak ada lagi bapak, tidak ada lagi aku. Akulah bapak. Bapaklah aku. Sudah 'aja.
Sudah ada judulnya, sudah ada ilustrasinya, bahkan sudah sampai alinea kedua. Sudah banyak yang lupa. Sungguh hari yang aneh, tiba-tiba ada Hadi, tiba-tiba ada Arsil. Orang-orang dari hampir 30 tahun yang lalu. Bahkan ada Dede Rosyadah yang pernah dibelikan gusdut oleh Gundam. Ketuaan yang bacin. Keutekan yang lethek. Setua ini Alhamdulillah aku masih anak ibuku. Jelasnya, aku bukan anak-anak lagi. Hampir setengah abad usiaku, Ya Allah. Maka begitu saja kuucapkan selamat tinggal kepada Irfan Saleh dan Herbert ketika kami sama meninggalkan Graha 10 di 1992.
Di dalam akuarium ini tiba-tiba aku merindukan hingar-bingarnya pertempuran; merebut dan mempertahankan Cuzco dan Machu Pichu. Sebenarnya kalau dipikir-pikir tidak banyak bedanya antara membangun peradaban dan membangkitkan bangsa-bangsa. Hanya satunya bergiliran, lainnya waktu sejati. Selebihnya membangun-bangun berbagai-bagai bangunan yang seakan-akan memiliki makna sosial dan budaya, jadi lebih dari sekadar estetika fisik belaka. Itulah sebabnya jika letaknya salah langsung hancur, tak peduli banyak makanan, kayu, besi, emas terbuang.
Namun itu kemarin. Sekarang aku sudah tidak di akuarium lagi. Aku justru berada di mana tayo berada. Sehabis minum secangkir besar neo mochaccino halia hangat badanku tak kunjung segar. Maka 'ku bereskan barang-barang menuju tayo. Relung ini dahulu diisi almarhumah Profesor Melda. Begitu Bu Tri jadi profesor, beliau mendapatkan relung ini. Beliau tidak pernah memanfaatkannya untuk bertapabrata, berdekat-dekat dengan Hyang Maha Kuasa. Puji Syukur 'ku panjatkan padaNya yang menyelipkan kebahagiaan kecil di relung hatiku melalui Dewi Komalasari.
Posisiku sekarang sebenarnya sudah dalam keadaan berwudhu, namun ketika memasuki bilik pengakuan ini masih basah sekali. Maka mengeringkan dulu dengan mengetik-ngetik begini. Dimulai dengan aku membatu cinta padamu sampai ini laguku, sekarang sudah kembali dari atas ke seorang lelaki dan seorang perempuan. Sampai berapa lama lagi tidak masalah jika mengingat betapa lambat waktu terasa di manapun kapanpun. Terutama mungkin ketika menunggu apapun itu, padahal tidak ada yang ditunggu kecuali yang sudah pasti itu. Menunggu kabarasa baik.
Biarlah 'ku relakan seorang lelaki tanpa cinta untuk bapaknya Farrel. Biarlah ia dulu memanggilku 'mas' sekarang diajak Masber untuk jangan sampai kalah dariku. Memang aku siapa. Aku hanya senang mengenang-ngenang bukan lanang manganang melainkan waktu-waktu ketika bapaknya Farrel masih suka makan mie lengkap dengan berbagai onderdilnya. Telur sudah pasti. Bahkan bisa bakso, sosis, otak-otak, mungkin juga kornet yang jarang-jarang 'ku rasakan. Mieku polos saja boleh beli dari koperasinya Chardin. Biar begini saja, biar doa mengamini.
Yang ditanam di Rorotan entah di sebelah mana itu sisa-sisa jasad bapakku, sebagai pengingat seperti apapun jasadmu tidak banyak berarti. Mau sebesar Sungadi atau siapapun korban bulimia, anoreksia nervosa, imperius furiosa, apapun. Namun bapak terus bersamaku, bahkan kini ke manapun aku pergi. Bapak selalu bersamaku. Dulu ketika masih berjasad, aku harus mengadakan waktu untuk bertemu dengan bapak. Jasad dengan jasad. Padahal yang sejatinya bertemu adalah jiwa dengan jiwa. Kini tidak ada lagi bapak, tidak ada lagi aku. Akulah bapak. Bapaklah aku. Sudah 'aja.