Thursday, April 10, 2025

Apakah Rasanya Cuzco, Machu Picchu. Kau Bertanya


Meski ada Rian Hidayat di hadapanku, bukan berarti aku tidak merasakan kesepian akut yang kronis seperti biasa. Kesepian ini selalu menyelimuti dan menggerogoti dari dalam sejak kanak-kanakku. Bukan aku ingin menyalahkan kakekku untuk ini, karena mendoakanku menjadi seorang pemikir. Mungkin beliau tidak mendoakan dalam arti menginginkan. Beliau sekadar tahu bahwa aku yang manggala ini terlahir seorang pemikir dari rahim ibuku, anak perempuannya nan wuragil; sedang ibuku adalah seorang guru, sarjana. Kesepian 'lah sahabat sejatiku, sepanjang hidupku.
Sudah ada judulnya, sudah ada ilustrasinya, bahkan sudah sampai alinea kedua. Sudah banyak yang lupa. Sungguh hari yang aneh, tiba-tiba ada Hadi, tiba-tiba ada Arsil. Orang-orang dari hampir 30 tahun yang lalu. Bahkan ada Dede Rosyadah yang pernah dibelikan gusdut oleh Gundam. Ketuaan yang bacin. Keutekan yang lethek. Setua ini Alhamdulillah aku masih anak ibuku. Jelasnya, aku bukan anak-anak lagi. Hampir setengah abad usiaku, Ya Allah. Maka begitu saja kuucapkan selamat tinggal kepada Irfan Saleh dan Herbert ketika kami sama meninggalkan Graha 10 di 1992.

Di dalam akuarium ini tiba-tiba aku merindukan hingar-bingarnya pertempuran; merebut dan mempertahankan Cuzco dan Machu Pichu. Sebenarnya kalau dipikir-pikir tidak banyak bedanya antara membangun peradaban dan membangkitkan bangsa-bangsa. Hanya satunya bergiliran, lainnya waktu sejati. Selebihnya membangun-bangun berbagai-bagai bangunan yang seakan-akan memiliki makna sosial dan budaya, jadi lebih dari sekadar estetika fisik belaka. Itulah sebabnya jika letaknya salah langsung hancur, tak peduli banyak makanan, kayu, besi, emas terbuang. 

Namun itu kemarin. Sekarang aku sudah tidak di akuarium lagi. Aku justru berada di mana tayo berada. Sehabis minum secangkir besar neo mochaccino halia hangat badanku tak kunjung segar. Maka 'ku bereskan barang-barang menuju tayo. Relung ini dahulu diisi almarhumah Profesor Melda. Begitu Bu Tri jadi profesor, beliau mendapatkan relung ini. Beliau tidak pernah memanfaatkannya untuk bertapabrata, berdekat-dekat dengan Hyang Maha Kuasa. Puji Syukur 'ku panjatkan padaNya yang menyelipkan kebahagiaan kecil di relung hatiku melalui Dewi Komalasari.

Posisiku sekarang sebenarnya sudah dalam keadaan berwudhu, namun ketika memasuki bilik pengakuan ini masih basah sekali. Maka mengeringkan dulu dengan mengetik-ngetik begini. Dimulai dengan aku membatu cinta padamu sampai ini laguku, sekarang sudah kembali dari atas ke seorang lelaki dan seorang perempuan. Sampai berapa lama lagi tidak masalah jika mengingat betapa lambat waktu terasa di manapun kapanpun. Terutama mungkin ketika menunggu apapun itu, padahal tidak ada yang ditunggu kecuali yang sudah pasti itu. Menunggu kabarasa baik.

Biarlah 'ku relakan seorang lelaki tanpa cinta untuk bapaknya Farrel. Biarlah ia dulu memanggilku 'mas' sekarang diajak Masber untuk jangan sampai kalah dariku. Memang aku siapa. Aku hanya senang mengenang-ngenang bukan lanang manganang melainkan waktu-waktu ketika bapaknya Farrel masih suka makan mie lengkap dengan berbagai onderdilnya. Telur sudah pasti. Bahkan bisa bakso, sosis, otak-otak, mungkin juga kornet yang jarang-jarang 'ku rasakan. Mieku polos saja boleh beli dari koperasinya Chardin. Biar begini saja, biar doa mengamini.

Yang ditanam di Rorotan entah di sebelah mana itu sisa-sisa jasad bapakku, sebagai pengingat seperti apapun jasadmu tidak banyak berarti. Mau sebesar Sungadi atau siapapun korban bulimia, anoreksia nervosa, imperius furiosa, apapun. Namun bapak terus bersamaku, bahkan kini ke manapun aku pergi. Bapak selalu bersamaku. Dulu ketika masih berjasad, aku harus mengadakan waktu untuk bertemu dengan bapak. Jasad dengan jasad. Padahal yang sejatinya bertemu adalah jiwa dengan jiwa. Kini tidak ada lagi bapak, tidak ada lagi aku. Akulah bapak. Bapaklah aku. Sudah 'aja.

Thursday, April 03, 2025

Melodi-melodi Mimpi Italia 'Nampakkan Perhiasan


Ternyata di dalam krombuk masih tersimpan memento dari suatu petang yang dihabiskan bersama keluarga di sebuah rumah minum teh tarik. Ternyata tanpa asupan glukosa sangat sulit otak diajak berpikir. Ternyata struktur kalimat paling tua justru adalah konstruksi gunting di mana subjek diikuti objek baru diakhiri predikat. Aku selalu haus akan fakta, pengetahuan, entah sejak kapan. Dapat aku bayangkan bahkan di kumuhnya kamar sebelah ibunya nenek sihir, di rumah petakan belakang apa yang sekarang menjadi pesantren al-Hikam Kukusan, aku kehausan.
Entah sudah berapa lebaran aku tidak menghancurkan peradaban-peradaban. Lebaran ini aku tidak tepat menghancurkan peradaban, tetapi kota-kota. Jika di rumah, kerjaku tidur dan bertempur saja sambil menunggu waktu berbuka. Mendekati buka, setelah ashar biasanya aku keluar mencari-cari takjil entah apa-apa. Namun semakin mendekati lebaran dan setelahnya, jalan-jalan betapa sepinya. Sampai-sampai kambing dan orong-orong 'ku beri makan bakso sekali tiga butir seekor setelah rendang praktis habis. Sayuran campur edan karena tahu busuk. 

Dahulu kala ketika masih muda belaka tiada empunya sesiapa begini juga. Dahulu ada Dedi Sudedi sama-sama tidak tahu esok hari mau menjadi apa. Sudah tidak takut mati lagi, tidak seperti di awalnya. Di akhir dekade dua ribuan itu, sekadar tidak tahu saja mau apa. Kalaupun lulus lalu apa. Kini sudah lima belasan tahun berlalu dari waktu-waktu itu. Kini aku di tempat yang sama, pura-pura masih seperti dahulu. Paling enak bekerja di waktu-waktu seperti ini, kataku pada Bang Mansur. Aku hanya menipu diri sendiri. Semua tak sama, tak pernah sama, apa yang 'ku c'lepuk 'puk. 

Bilakah itu, di elkapeu yang sekarang sudah menjadi lkihi bersama Dedi Sudedi. Adakah aku menyetel simfoni cinta langsung dari kasetnya. Menipu diri seakan waktu masih sama, setidaknya seperti ketika di tepian Ciliwung atau pavilyun. Luka itu tidak pernah sembuh. Semua beranjak melanjutkan perjalanan, aku terjerembab memegangi perut dengan luka menganga. Semua bertanya mengapa tak kau obati, mengapa tak upayakan kesembuhan. Dengan bibir menjebik 'ku desiskan: 'ndasmu. Seperti kantong laut, aku tinggal hanya menunggu kematian John Gunadi.

Santa Maria Immakulata. Santa Maria Asumpta. Santa Maria Innosensia. Aku memanggil-manggil Ibunda Yesus Kristus seakan-akan ibuku sendiri, seperti yang dilakukan Sersan marinir Joe Enders sebelum kematian menjemputnya. Lihat, aku tidak beranjak sedikitpun dari ketika John Gunadi membaca-baca seruan perang milik Pak Bendot, yang tidak pernah dikembalikannya. Ya, karena ia sekarang bersemayam di rak buku di rumahku, setelah 'ku keraskan sampulnya, 'ku rasa, di Barel tempat Bang Ippul. Ya, 'ku rasa itu lebaran juga, ketika kami pun berjaket logam penuh.

Sendiri, seorang diri, hanya berteman senandung seruling logam. Adakah suatu cara untuk tetap cerdas barus meski perut terasa seperti habis ditonjok sersan mayor taruna. Kalau sersan taruna pasti lebih sakit dari ini. Ini mah tonjokan sayang dari mentor sendiri. Uah, aku betul-betul tidak sanggup beranjak dari kenangan-kenanganku sendiri. Dikata buruk tapi kok pahit-pahit manis seperti senyuman karamel. Dikata manis tapi kok pedih-pedih nikmat seperti koreng hampir sembuh digaruki dithithili. Aduhai ini apa serenata manis begini yang datangnya dari hatiku sendiri.  

Di atas langit-langit kamar hama padi ada cemeng ditinggal induknya. Setiap terbangun menangis ia memanggil-manggil induknya. Bagaimana drama ini akan berakhir. Akankah ia berakhir dengan bau busuk selama kurang lebih seminggu sampai dua minggu. Biarlah terangnya rembulan melupakanku dari drama yang belum jelas tragedi atau komedinya ini. Sekarang bahkan sudah ada Rembulan yang gelap kompleksinya, yang Akung tidak sempat melihatnya. Aku selalu yakin akan datangnya hari ketika Akung dan Rembulan akan saling bertemu dalam keadaan terbaik.

Terang bulan, terang di hati