Old Steadyhand adalah salah satu julukan tolol yang kuberikan untuk diriku sendiri, tentu saja, di samping Bonovski, dan mungkin ada lagi lain-lainnya. Malam ini aku teringat pada old steadyhand karena aku memotong gambar hanya dengan kira-kira dan ternyata hanya meleset satu pixel. Seperti inilah wujud kebanggaanku sekarang, karena bahkan aku dipermalukan dan diperolok-olok oleh pendaki terkenal Aconcagua. Mungkin satu-satunya cara untuk memanaskan kembali somay oan adalah dengan cara dikukus, karena dimegatron dengan air tetap keras dalamnya.
Tengah malam tadi seperti biasa berhenti, seperti selalu saja terjadi belakangan ini. Mengitiki menjadi kegiatan yang semakin lama semakin terasa berbeda; meski anatomi dasarnya tidak pernah betul-betul berubah. Apakah di Radar AURI atau kubikelnya Dedy, adakah pada waktu itu di kubikelku sudah tidak ada komputer pribadinya. Aku ingat beberapa kali bertololan berkeliling di komputer depan pojokan itu, dengan stasiun yang mirip dengan yang biasa kupakai dalam Apollo celaka 13. Di situ pulalah Bang Sony Sikumbang muda bermain kesendirian sudah 20 tahunan lalu.
Sekarang sudah tidak ada yang muda termasuk perutku. Di sini pun tiba-tiba macet lagi, padahal Chris Cross sudah menderu dengan baiklah, menyusul durian-durian ke tanah pemakaman.Tanah perkuburan, Mas Tony Edi Riwanto kapan matinya. Jika menilik dari racauannya, kurasa ia bukan muslim, ataukah, seperti kebanyakan orang Jawa, muslim namanya saja. Aku tidak bisa menggambarkan perasaan ini dengan tepat kini, apa karena ia sedang tersendat-sendat. Apa benar yang menyendatnya, apakah jalan kecil menuju pinggir kali itu, sebelum warung laler. Sembarang saja.
Bergeruduk-geruduk, atau gedubruk-gedubruk, adalah seperti seorang penyanyi syair lagu-lagu tua menggubah komposisi onomatope yang berakhir dengan kitaranya di sekeliling leher. Haruskah kucepat-ke-depankan perasaan dan air mata ini, akhirnya itu pula yang kulakukan, bahkan juga terhadap kita semua sendiri. Pagi-pagi di tengah cuaca ekstrem ini, dengan berjaket biru pemberian Savit, sarung entah dari mana, apakah pasangan koko gading dengan bordiran kaku di tengah-tengah, dan kaus semata kaki bukan semata wayang, Suzanne menari-nari.
Terkadang hawa dingin muram bermendung begini hanya tersisa nama bulannya, yang sangat bisa jadi bukan untukku, melainkan untuk siapapun yang cukup kurang kerjaan sampai mengunjungi macan gondrong. Apakah itu di pemberhentian bis, apakah itu di Kramat Batu ataukah lapangan Bhayangkara, Santo Jambrut! Ke mana aku dibawanya, ke masa kecilku di apron timur lapangan udara Kemayoran, atau ke tepian Ciliwung di salah satu meandernya, meninggalkan tanah menjorok di Rawa Panjang lagi Rawa Menteng, Fajar Baitullah! Qoryatussalam Sani!
Keramat Barepan! Silagar! Aku tak bisa percaya itu kamu, membuatku pulang ke ndalemnya Akung Uti. Itu bukan pulang namanya, sungguh. Jika pun iya, maka mampir. Mampir minum. Kalimat-kalimat makin pendek, siapa yang memendekkannya, aku 'kah. Bisa apa aku. Main terompet, trombon, susafon, tuba, dan kawan-kawannya saja aku tak bisa. Bahkan suara-suara tiruannya di sintesaizer juga aku tidak bisa. Aku tidak bisa apa-apa, Si Tolol ini. Seperti seekor munyuk mainan ular yang ditemukannya di dalam lubang di sebatang pohon kelapan. Dipatuklah ia.
Seorang penyiar radio bernama Dreded Cikutra menandakan adikku sudah sampai ke mana-mana, ke berbagai tempat. Ya Allah mereka hanya adik-adikku, anak-anak bapakku. Aku menggelesot menggelepar. Di tepian sungai Maas, di bawah jembatan Wilhelmina, hanya sekali aku di situ. Berduaan saja di Cappadocia, selembar saja. Main peluk-peluk saja calon istri orang di depan pacar sendiri, rasanya seperti ingin berteriak: "Father, till we meet again in the Garden!" Aku tidak bisa muda lagi. Sudah habis rasa itu dari mana-mana, dari sekujur tubuh dan pikiranku.
Tengah malam tadi seperti biasa berhenti, seperti selalu saja terjadi belakangan ini. Mengitiki menjadi kegiatan yang semakin lama semakin terasa berbeda; meski anatomi dasarnya tidak pernah betul-betul berubah. Apakah di Radar AURI atau kubikelnya Dedy, adakah pada waktu itu di kubikelku sudah tidak ada komputer pribadinya. Aku ingat beberapa kali bertololan berkeliling di komputer depan pojokan itu, dengan stasiun yang mirip dengan yang biasa kupakai dalam Apollo celaka 13. Di situ pulalah Bang Sony Sikumbang muda bermain kesendirian sudah 20 tahunan lalu.
Sekarang sudah tidak ada yang muda termasuk perutku. Di sini pun tiba-tiba macet lagi, padahal Chris Cross sudah menderu dengan baiklah, menyusul durian-durian ke tanah pemakaman.Tanah perkuburan, Mas Tony Edi Riwanto kapan matinya. Jika menilik dari racauannya, kurasa ia bukan muslim, ataukah, seperti kebanyakan orang Jawa, muslim namanya saja. Aku tidak bisa menggambarkan perasaan ini dengan tepat kini, apa karena ia sedang tersendat-sendat. Apa benar yang menyendatnya, apakah jalan kecil menuju pinggir kali itu, sebelum warung laler. Sembarang saja.
Bergeruduk-geruduk, atau gedubruk-gedubruk, adalah seperti seorang penyanyi syair lagu-lagu tua menggubah komposisi onomatope yang berakhir dengan kitaranya di sekeliling leher. Haruskah kucepat-ke-depankan perasaan dan air mata ini, akhirnya itu pula yang kulakukan, bahkan juga terhadap kita semua sendiri. Pagi-pagi di tengah cuaca ekstrem ini, dengan berjaket biru pemberian Savit, sarung entah dari mana, apakah pasangan koko gading dengan bordiran kaku di tengah-tengah, dan kaus semata kaki bukan semata wayang, Suzanne menari-nari.
Terkadang hawa dingin muram bermendung begini hanya tersisa nama bulannya, yang sangat bisa jadi bukan untukku, melainkan untuk siapapun yang cukup kurang kerjaan sampai mengunjungi macan gondrong. Apakah itu di pemberhentian bis, apakah itu di Kramat Batu ataukah lapangan Bhayangkara, Santo Jambrut! Ke mana aku dibawanya, ke masa kecilku di apron timur lapangan udara Kemayoran, atau ke tepian Ciliwung di salah satu meandernya, meninggalkan tanah menjorok di Rawa Panjang lagi Rawa Menteng, Fajar Baitullah! Qoryatussalam Sani!
Keramat Barepan! Silagar! Aku tak bisa percaya itu kamu, membuatku pulang ke ndalemnya Akung Uti. Itu bukan pulang namanya, sungguh. Jika pun iya, maka mampir. Mampir minum. Kalimat-kalimat makin pendek, siapa yang memendekkannya, aku 'kah. Bisa apa aku. Main terompet, trombon, susafon, tuba, dan kawan-kawannya saja aku tak bisa. Bahkan suara-suara tiruannya di sintesaizer juga aku tidak bisa. Aku tidak bisa apa-apa, Si Tolol ini. Seperti seekor munyuk mainan ular yang ditemukannya di dalam lubang di sebatang pohon kelapan. Dipatuklah ia.
Seorang penyiar radio bernama Dreded Cikutra menandakan adikku sudah sampai ke mana-mana, ke berbagai tempat. Ya Allah mereka hanya adik-adikku, anak-anak bapakku. Aku menggelesot menggelepar. Di tepian sungai Maas, di bawah jembatan Wilhelmina, hanya sekali aku di situ. Berduaan saja di Cappadocia, selembar saja. Main peluk-peluk saja calon istri orang di depan pacar sendiri, rasanya seperti ingin berteriak: "Father, till we meet again in the Garden!" Aku tidak bisa muda lagi. Sudah habis rasa itu dari mana-mana, dari sekujur tubuh dan pikiranku.