Saturday, June 14, 2014

Kenikmatan Dunia, Kesakitan Manusia


Aku menulis ini dalam keadaan jasad kotor batin apalagi. Aku belum shalat lohor seraya berkata pada diriku sendiri, nanti kukerjakan setelah beres-beres rumah, biar sekalian. Dalam keadaan seperti inilah, ditemani segelas permata teh hijau beraroma bunga melati dan nyanyian Neil Sedaka, aku menulis tentang kesakitan manusia, kepedihan hati dan batin mereka akibat nikmatnya dunia. Ini adalah omongan pembual pandir lagi pongah yang tidak perlu didengarkan, bahkan oleh penuturnya sendiri. [Ini meja laptop sudah goyang-goyang begini...] Si Pandir berusaha mengingatkan dirinya sendiri yang tidak pernah ingat, yang selalu ayal.

[Lelaki pandir sekarang merana, anak istrinya dibuat sengsara. Uang yang banyak telah dibikin musnah, karena malas dan kurang upaya!] Sungguh, sebaiknya aku segera shalat setelah ini, dan berusahalah khusyu' hei, Pandir! Membereskan terjemahan syarah Futhuhul Ghayb tidak kauteruskan karena merasa sudah membeli syarah yang baru, itu pun tidak kau baca! Ya, Allah harus mulai dari mana hamba? Hamba si Gendut berlumur dosa, yang lalai dalam bersiap-siap menyambut Ramadhan Karim, seakan ia sudah pasti datang padanya, seakan sudah pasti ia akan disampaikan padanya.


Dulu sekali aku sering membatin pada diriku sendiri, beberapa kali bahkan kutulis juga di sini, betapa dunia ini tempat yang mengerikan jika bukan karena belas kasih dan sayangNya. Tetapi apa kini? Apa aku mencari belas kasih itu? Adakah sejengkal saja aku melangkah kembali ke sana? Ada juga, aku terus melumuri jasadku yang celaka dengan kenikmatan dunia, yang sesungguhnya merupakan karuniaNya, seakan-akan aku merasa berhak atasnya, atas segala kesakitan dan kesakitan yang pernah dan sedang kualami, atau setidaknya begitulah sebagaimana dipahami oleh diri-rendahku! Astaghfirullah! Aku berseru minta ampun kepadaNya, meski bibirku terkatup.

Ya, jariku yang menyerukannya namun hatiku tidak. Amboi, betapa kerasnya kau hati... apa saja yang telah kulakukan terhadapmu selama ini? Ampuni hamba Oh Allah, kasihanilah hamba yang bebal ini. Ini jelas kejumudan. Aku berhenti. Aku tidak beranjak sejengkal pun. Ketika sekelilingku bergegas menujuMu, maka jelaslah pada hakikatnya aku mundur. Naudzubillah tsumma naudzubillah! Apa yang dapat hamba lakukan untuk sekadar mengangkat pantat dari tanah kejumudan ini, Ya Allah? [Ampun, ampun jangan hamba dipukul Ya Allah.]

Ada! Itulah dia! Hei, Tolol, tidakkah telah terpikir olehmu entah sejak kapan, selalu, setiap kali kau dibuat ketakutan oleh sakit dan penyakit?! [Hari inikah, ya, siang hari ini jugakah?] Ya! Lantangkan! Camkan! Segera setelah ini tanpa ditunda. Ramadhan Karim segera menjelang dan jangan biarkan sakit dan penyakit yang mengingatkanmu. Ingatlah, hei, bangunlah, Tolol! Lagipula, Tolol, mana mungkin hal-hal yang baik, yang thayyib, dapat muncul dari benak yang jumud dipenuhi kepalsuan nikmatnya dunia? Lihat badanmu sekarang. Gendut! Jijik! Apa? Kau merasa harus melakukan sesuatu, hal-hal yang mulia?

Jih! Apa lagi sebutannya jika bukan sesat, apa pula yang telah menyesatkanmu selama ini? Ingatlah selalu akan satu hari, ya SATU hari yang nista itu, yang satu sebagai sekadar pengingat dari yang banyak, yang terjadi karena kau mengharu-biru dirimu sendiri dengan kesakitan yang kau khayal-khayalkan sendiri untuk dirimu! Sudahkah, ya, mampukah kau membayarnya, menebusnya? Itulah yang seharusnya menjadi ketakutanmu dan bukan yang lain-lainnya. Astaghfirullahalazhim. Bisa-bisanya engkau dibodohi oleh sesuatu yang sudah kaulatih entah sejak kapan, jauh di masa kecilmu. Hentikan itu, kini kau dewasa, dan dewasa adalah pilihan. Beranjaklah! Bangun!

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

1 comment:

Anonymous said...

Luar biasa bang