Sunday, September 04, 2011

The Beauty That Is Mine


Aku terpikir kata-kata ini gara-gara mendengarkan melodi theme song-nya Emmanuelle. Filmnya sendiri tidak akan pernah membuatku ingin menontonnya. Selera artistik dan intelektual orang Perancis memang tidak bersetuju denganku. Akan tetapi, melodinya! Melodi ini seperti mengilhamkan suatu cinta yang sederhana, seperti yang selalu kudambakan, kukhayalkan. Seperti apa cinta yang sederhana itu? Hidup di lingkungan kampung yang bersahaja meski di perkotaan? Bertetangga dengan orang-orang sederhana? Pedagang bubur ayam yang mendorong gerobaknya tiap hari, atau pedagang ayam potongnya itu sendiri? Meski sederhana, cintaku cantik. Cantik seperti melodi ini. Cantik yang sederhana. Ah, sulitlah menggambarkannya dengan kata-kata. Ketika aku berusaha mengungkapkannya dalam kata-kata, yang terpikir hanya itu: "The Beauty That Is Mine." Insya Allah, aku tidak terlahir rakus. Insya Allah, lebih mudah bagiku mengabaikan dunia dibandingkan beberapa orang lainnya. Insya Allah. Akan tetapi, kalau cinta maka harus sepenuhnya milikku. Cinta yang cantik. Cinta yang sederhana, seperti melodi ini.

Berapa usiaku sekarang? Tigapuluh Lima. Anakku perempuan sudah duabelas tahun usianya. Sudah gadis. Apa yang kupunya? Laptop ini, HP 520, memang punyaku sendiri, meski baterainya sudah jelas minta diganti. Lalu ada Honda Vario. Itu juga punyaku. Kulkas Sanyo. Itu punyaku juga. Sudah. Keadaan ini tidak akan lama lagi, Insya Allah. Duh Gusti, lagu ini sungguh mewakili suasana hatiku malam ini. Bukan, Aku bukannya sedang merasa tidak berdaya. Aku juga tidak merasa sedang memperjuangkan sesuatu. Hatiku masih gengsi untuk mengakui bahwa aku menginginkan barang-barang itu. Rumah dan perabotannya. Mobil. Setidaknya, kalaupun diusahakan juga, istilah 'memperjuangkan' janganlah digunakan di sini. Teringatnya, aku tadi lihat-lihat mesin cuci top-loading di Giant. Merek apa tadi itu? Samsung, LG, Polytron? Harganya di bawah dua juta. Namun aku sepertinya gengsi kalau beli yang murah-murah begitu. Tidak! Aku tidak akan beli yang murah. Aku beli yang baik. Kulkas saja Insya Allah bukan yang murah, melainkan yang baik. Setidaknya, begitulah menurut Ibu.

Waduw... Again-nya Francis Goya!!! Paragraf ini mungkin untuk Puyunghai saja. Sebelum makan Puyunghai ronde kedua ini, aku minum Sirup Cap Bangau Rasa Pisang Ambon. Sedap! Namun rasanya agak terlalu canggih... Yang dulu tidak seperti ini... Lebih bersahaja namun tak mudah terlupa. Kini tentang Puyunghai. Aku benar-benar lupa di mana bisa dibeli Puyunghai enak. Seingatku aku sudah coba Berkat punya, dan seingatku rasanya sama sekali tidak istimewa. Kemarin pesan di Solaria. Bentuknya lucu, seperti kerucut, tetapi rasanya juga tidak istimewa. Bagaimana kalau di Margonda ya? Apa aku sudah pernah mencobanya akhir-akhir ini? Seingatku tidak. Nah, malam ini aku beli di pinggir jalan. Tidak istimewa juga. Sepertinya, ia menggunakan kecap inggris untuk membuat sausnya, dan itu membuatnya menjadi agak aneh. Agak tidak pas rasanya, makan puyunghai koq beraroma kecap inggris. Oh ya, dan sebelumnya Bakso A Fung. Kalau tidak salah, aku pertama kali berkenalan dengan bakso ini di food court-nya Pondok Indah Mall yang dulu, dan sejak saat itu, otakku selalu merekam bahwa bakso enak salah satunya Bakso A Fung. Dan memang masih enak. Tapi dengan tigapuluh ribu semangkok, sepertinya cukuplah setahun sekali membelinya.

1 comment:

Anonymous said...

Yang ditunggu akhirnya datang juga. Selalu senang membaca tulisan2 di sini.Yg renik seolah jadi raksasa.Sebuah jeda dari kebosanan akut yg menghinggapi kehidupan. :)